Andai saja Bandung-Cirebon Tersambung

Nawa Tunggal dan Ahmad Arif

Jalur kereta api dari Cirebon menuju Kadipaten, Majalengka, hampir terhubung dengan jalur dari Citali di Sumedang sampai Stasiun Rancaekek, Bandung. Bandung dan Cirebon ketika itu hampir terhubung dengan kereta api langsung, tetapi gagal akibat resesi ekonomi dunia tahun 1929-1930.

Sampai sekarang, pembuatan jalur tembus kereta api dari Bandung ke Cirebon melintasi Sumedang itu gagal terwujud. Bekas relnya pun raib. Jalur Cirebon ke Kadipaten sepanjang 48,7 kilometer, sedangkan jalur dari Stasiun Rancaekek sampai Citali sepanjang 14,5 kilometer.

Jalur tengah yang belum terhubung antara Kadipaten dan Citali sekitar 43,1 kilometer. Jalur itu melintasi kota Sumedang.

“Perencanaan jalur kereta api dari Bandung ke Cirebon itu terkait hasil produksi perkebunan yang melimpah di Priangan selatan pada masa itu. Di antaranya dari wilayah Ciwideuy, Bandung Selatan,” kata Aditya Dwi Laksana dari lembaga Kereta Anak Bangsa ketika mendampingi Susur Rel Kompas, Rabu (8/6).

Sebuah perusahaan swasta, Semarang-Cheribon Stoomtram-Maatschappij (SCS), berhasil membuka jalur kereta api dari Semarang sampai Cirebon pada 1899. Hanya berselang dua tahun kemudian, SCS membuka jalur Cirebon ke Kadipaten. Jalur Cirebon-Kadipaten tidak jauh beda dengan jalur Semarang-Cirebon, diutamakan untuk angkutan tebu dan gula.

Di antara Cirebon sampai Kadipaten terdapat beberapa bekas pabrik gula, meliputi Pabrik Gula (PG) Soerawinangoen, PG Gempol, PG Paroengdjaja, PG Djatiwangi, dan PG Kadipaten.

“Jalur ini sempat bertahan sampai 1976,” kata Aditya.

Jalur Rancaekek menuju Citali pada awalnya hanya beroperasi sampai Stasiun Tanjungsari berjarak 11,2 kilometer. Jalur ini dibuka pada 13 Februari 1921. Kemudian sempat diperpanjang 3,3 kilometer sampai Citali, tetapi jalur perpanjangan tersebut belum sempat dioperasikan sampai jalur itu ditutup pada 1942, ketika masuk pendudukan tentara Jepang.

Jalan Raya Pos

Ketika menyusuri jalur rel dari Stasiun Cirebon Kejaksan ke Kadipaten, kami menjumpai bekas jalur kereta api berada di sisi jalan Cirebon menuju Sumedang. Jalan raya ini dikenal juga sebagai Jalan Raya Pos (De Grote Postweg), sepotong ruas Jalan Anyer-Panarukan, yang dibangun Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels pada 1808-1809.

Meskipun jalur tersebut ditutup baru sekitar 40 tahun lalu atau pada 1976, hampir semua bekas rel sudah raib. Penanda jalur rel yang masih tampak berupa fondasi-fondasi jembatan kereta api yang melintasi sungai atau kali kecil pada masa itu, antara lain jembatan Pilang Sari, Cideres, dan Ciputis.

Dari Stasiun Cirebon Kejaksan sampai Kadipaten terdapat 19 stasiun atau perhentian. Ketika sampai di perhentian ketujuh di Klangenan, terdapat percabangan ke arah Gunung Giwur sepanjang 5 kilometer. Jalur ini dibuka pada 1 Juli 1922.

Jalur dari Klangenan menuju Gunung Giwur cukup menarik. Jalur itu juga digunakan untuk jalur pipa air bersih yang diperkirakan dibuat hampir bersamaan yang terhubung dari mata air Gunung Ciremai di Cikahalang sampai Stasiun Cirebon Kejaksan. Jarak antara mata air Cikahalang dan Stasiun Cirebon Kejaksan itu 22 kilometer dan jalur pipanya masih aktif sampai sekarang.

Ketika mengunjungi sumber mata airnya di Cikahalang, diperoleh keterangan dari penjaganya, Ibrahim, bahwa air dialirkan melalui pipa dari sebuah kolam berukuran 20 kali 13 meter persegi. Mata airnya dari dalam tanah atau artesis. Mata air itu sejak dibangun pada masa kolonial Hindia Belanda tidak pernah kering sampai sekarang.

content

Beberapa warga di sepanjang jalur pipa air sempat ditemui. Beberapa warga itu menyebutkan, pipa air bersih tersebut masih dirawat. Ketika terjadi kebocoran, bisa cepat diketahui dan segera dibenahi.

Pengambilan air dari sumber mata air di lereng gunung itu sangat ramah lingkungan. Air itu pada mulanya diutamakan untuk mencukupi kebutuhan lokomotif uap di Stasiun Cirebon Kejaksan milik perusahaan SCS.

Jika air yang digunakan dari air tanah, ini akan mempercepat penurunan tanah. Dengan adanya penurunan tanah akan mempercepat terjadinya rob atau luapan air pasang dari laut. Sebab, Cirebon salah satu kota terbesar pada waktu itu yang terletak di pinggir pantai.

Kadipaten

Dari Cikahalang, kami meneruskan perjalanan menuju Kadipaten. Tidak mudah untuk mengenali bangunan yang dapat diduga sebagai bekas Stasiun Kadipaten. Namun, dapat ditemui adanya plang aset PT Kereta Api Indonesia (KAI) di simpang empat pusat kota Kadipaten.

Di sekitar plang aset PT KAI itu dijumpai sepotong rel yang tersembul dari dalam tanah. Kemudian ada patok bertuliskan 48 + 700 yang bermakna titik itu berada 48,7 kilometer dari Stasiun Cirebon Kejaksan.

Di situlah kira-kira bekas Stasiun Kadipaten berada. Saat ini kondisinya sudah menjadi pertokoan padat.

Beberapa warga tampak antusias mengisahkan riwayat kereta api dan jalurnya di Kadipaten. Mereka masih mengenali area-area yang diperuntukkan untuk emplasemen atau tempat memarkir gerbong, jalur langsir lokomotif, dan jalur cabang menuju Pabrik Gula Kadipaten.

Tidak jauh dari bekas Stasiun Kadipaten itu terdapat bangunan lama yang diperkirakan sebagai bagian dari bekas PG Kadipaten. Tak ada penanda sama sekali di lokasi bangunan tersebut.

Kalau saja melanjutkan perjalanan dari Kadipaten menuju Citali di Sumedang, tentu akan ditemui lagi bekas jalur rel menuju Bandung. Susur Rel Kompas pada 29 Maret 2016 sudah melintasi jalur itu, dari Stasiun Rancaekek sampai Citali.

Jalur ini dibangun perusahaan milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatspoorweg (SS), yang kini relnya sudah raib. Namun, jejak peninggalannya masih mudah dijumpai, seperti Jembatan Cincin Cikuda di Jatinangor, bekas jembatan Tunggul Hideung, dan Jembatan Cincin Cigondoh.

Bandung dan Cirebon pernah dirintis pada masa kolonial Hindia Belanda supaya terhubung dengan kereta api. Dari kedua kota itu sudah dimulai pembangunan relnya sejak 1901. Ketika kita sudah terbebas dari belenggu penjajahan, kini kita dapat berharap melanjutkannya. Tetapi, munginkah?

Ah… Andai saja itu terwujud, maka tak akan terjadi kemacetan lalu lintas di kawasan pendidikan Jatinangor. Inilah gerbang utama Kota Bandung dari arah Cirebon-Sumedang yang makin sesak dengan mobilitas manusia lantaran menjamurnya kampus, perniagaan, dan perumahan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Juni 2016, di halaman 12 dengan judul “Andai Saja Bandung-Cirebon Tersambung…”.

 

Comments are closed.