Belajar

Apa sih artinya belajar? saya mencoba menerjemahkannya dengan mencari sesuatu di luar profesi atau bidang yang saya tekuni/geluti. Dimana sesuatu hal baru tersedia lebih banyak di luar yang kita hadapi di kehidupan sehari-hari.

Minggu kemarin, dalam sebuah kelas di Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, saya berkenalan dengan seorang Bapak. Mengapa saya bisa sampai ke sana? ceritanya begini. Saya membaca sebuah foto banner di facebook yang beracara tentang filsafat seni. Acara ini diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat Unpar. Sejujurnya kedatangan saya hanyalah mencoba seperti apa sih suasana kelas di sebuah universitas di Bandung? Kebetulan pengisi kelas saat itu adalah Garin Nugroho, seorang sutradara terkenal di Indonesia. Jadilah saya datang ke sana setelah kesasar kesana kemari dan membayar uang pendaftaran sebesar Rp50.000.

Sebelum Garin datang-terkena macet dahsyat- saya berbincang dengan bapak disebelah saya. Setelah obrol kesana kemari, akhirnya saya mengetahui bahwa ia adalah seorang kandidar Doktor di bidang Hukum Lingkungan. Menarik berdiskusi dengan beliau, apalagi seklias membahas bagaimana sebuah undang-undang dapat terbit di DPR, namun anggota DPR nya sendiri tidak mempunyai pendidikan hukum yang memadai. Jangankan pendidikan hukum, berpikir logis dan kritis aja tidak. Jadi tidak heran, banyaknya undang-undang yang diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi, salah satu penyebabnya adalah ketidakmemadaian kapabilitas anggota DPR mengupas rancangan undang-undang serta korelasinya dengan undang-undang dasar maupun undang-undang lain.

Pembicaraan berlanjut ke sistem pendidikan kita yang menekankan pada banyaknya hafalan dan mata pelajaran serta tidak dirancangnya pelajar Indonesia ke arah mendalami suatu bidang yang spesifik. Saya sendiri kagum mendengarkan analisis beliau. Ya tentu saja, kandidat doktor! 🙂 Pada akhir pertemuan, kami bertukaran nomor HP dan ia mengundang saya ke rumahnya, dan akhirnya saya mengetahui profesinya adalah seorang Peneliti, ckckck…dan ia berjanji akan mengundang saya untuk datang pada sidang terbuka disertasinya pada bulan Mei mendatang. Sungguh surprise tak terduga 🙂

Pada hari minggunya, ketika di gereja, saya bertemu dengan kakak kelas (senior) yang ternyata sedang belajar doktoral di Perth. Ah saya merasa sangat kecil diantara mereka yang saya temui minggu kemarin. Mereka dengan rendah hati dan tetap semangat untuk meneruskan pendidikan. Saya sendiri bila ditanya, mau nggak kuliah sampai S3? saya jawab tidak. Kenapa? karena saya tidak butuh. Entahlah suatu saat keputusan saya berubah, tetapi bila melihat situasi pendidikan tinggi Indonesia sekarang, saya khawatir saya akan terjebak pada “menyelesaikan tugas akhir” tanpa menikmati proses belajar itu sendiri. Selain itu, pertanyaan selanjutnya, saya mau jadi apa? saya pikir kedua orang yang saya temui punya alasan kuat untuk sampai ke jenjang pendidikan sana serta punya rencana besar akan keilmuan mereka. Sementara saya sendiri, saya merasa sepertinya sudah melenceng dari latar belakang pendidikan serta peminatan yang berbeda dengan profesi yang saya geluti sekarang.

Mungkin yang menarik bagi saya saat ini adalah berdiskusi di kelas, atau berbincang dengan orang-orang yang punya ilmu tertentu atau profesi lain, tanpa harus terjebak pada tugas-tugas atau pencapaian nilai-nilai numerik. Bagi saya itulah belajar.

Comments are closed.