Domingo

Rangkaian pesan berjejer masuk ke ponsel saya dua minggu lalu. Pesan itu dari pengurus gereja yang bertugas menyusun jadwal pelayanan musik dan pemandu nyanyian jemaat. Ia menanyakan apakah saya sudah cukup nyaman untuk kembali beribadah secara luar jaringan dan menanyakan kesediaan saya agar dijadwalkan dalam kebaktian yang diselenggarakan secara konvensional (tentunya dengan protokol Covid19).

Saya teringat ketika pertengahan Maret 2020, jadwal saya bertugas adalah yang terakhir. Selanjutnya ibadah berlangsung secara dalam jaringan. Praktis tidak ada lagi koordinasi latihan, share daftar lagu, foto bareng setelah kebaktian. Sepi.

Pandemi ini sebetulnya mengajarkan satu pelajaran klasik yaitu disiplin. Kata kunci yang tidak boleh kendor dalam implementasinya adalah pakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak fisik. Patuh dalam ketiga hal tersebut pun belum tentu selamat. Masih ada faktor yang cukup menentukan yaitu konsistensi disiplin. Justru hal ini yang berat, persoalan yang diutarakan sering kali adalah kapan pandemi berakhir? tidak ada yang tahu, mungkin sampai pertanyaan itu tidak layak lagi ditanyakan.

Saya mengamati bahwa ada kecenderungan untuk memulai kembali aktivitas fisik, meski dengan katanya protokol kesehatan. Sayangnya, kita lagi-lagi kurang waspada atau bahkan abai dengan kondisi berikut.

Pertama, jumlah kasus positif Covid tidak semakin menurun, bahkan cenderung di atas angka pada masa awal-awal Pandemi. Strategi Pemerintah sekarang ini cukup jelas: Test, track, treat. Keefektifannya bagaimana, menurut saya paling tidak strateginya ada dan bisa dikerjakan. Persoalannya adalah dengan banyak munculnya perjumpaan2 yang seharusnya dihindari membuka peluang penyebaran virus, termasuk pertemuan ibadah di gereja.

Kedua, ibadah biasanya bernyanyi. Bisa dibayangkan, untuk sekali bernyanyi satu bait saja sudah berapa droplet yang tersebar? atau menyanyi dengan masker? betapa tidak nyamannya? jadi kalau lebih nyaman atau lebih aman bernyanyi sendiri, mengapa harus berkumpul? untuk apa? Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penyebaran virus bisa lewat mesin pendingin udara. Jadi mungkin gereja akan mematikan AC, lalu di gereja akan panas, gerah, badan terasa lengket. Bagaimana bisa berkonsentrasi atau khusuk dalam situasi ibadah seperti itu?

Ketiga, pergumulan saat ini adalah resesi ekonomi. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Ongkos menjadi mahal, dan biaya hidup juga tetap tinggi. Siapa yang bisa datang ke tempat ibadah seperti gereja pastilah orang yang mampu, punya kendaraan atau paling tidak punya uang untuk membayar ongkos. Bagaimana dengan yang tidak mampu? dimana letak berbela rasa pada orang yang terkena dampak pandemi pada ekonomi keluarganya? atau bagi anak anak jemaat yang tak dapat melakukan kegiatan belajar jarak jauh karena ketiadaan gawai maupun paket data. Gereja seharusnya peka dan tak perlu mengundang orang datang ke gedungnya. Toh bukankah seharusnya disadari bahwa gereja yang hakiki adalah orangnya?

Akhirnya, seperti protokol kesehatan di gedung kantor atau supermarket. Ada wastafel untuk mencuci tangan sebelum masuk ke gereja. Saya memaknai sebagai manusia: dengan tangan, kita sebetulnya banyak berbuat kejahatan.

Dan pesan di atas belum saya jawab.