Semua yang di Multiply ini pingin jadi Penulis bukan? termasuk saya, hihihi.
Edisi 045/Juli/2008
TEMA: KRITERIA TULISAN YANG
BAIK
______________________________________________________________________
= DAFTAR ISI =
* Dari Redaksi: Seperti Apakah Tulisan yang Baik Itu?
* Mutiara Penulis
* Artikel 1: Kode Etik dan Tanggung Jawab Penulis untuk Hasil Tulisan
yang Baik
* Artikel 2: Kriteria Tulisan yang Bagus
* Tips: Kriteria untuk Menilai Karya Tulis
* Pojok Bahasa: Disapa “Anda” Malah Tersinggung
* Stop Press: 40 Hari Mengasihi Bangsa dalam Doa
____________________________DARI REDAKSI______________________________
SEPERTI APAKAH TULISAN YANG BAIK ITU?
Setelah bersama-sama mengenal pembaca melalui e-Penulis edisi Juni
2008 yang lalu, kali ini Redaksi mengajak Sahabat Penulis mengetahui
kriteria tulisan yang baik. Seperti apakah kriteria tulisan yang
baik itu? Apakah tulisan yang baik adalah tulisan yang bahasanya
indah? Tulisan yang dibaca oleh banyak orang?
Atau tulisan yang
memakai ejaan yang disempurnakan dengan benar? Jawabannya dapat
ditemukan dalam sajian yang mengetengahkan hal-hal yang perlu
diperhatikan penulis agar menghasilkan tulisan yang baik kali ini.
Jangan lewatkan pula Pojok Bahasa yang dapat menambah keterampilan
dan kemampuan bahasa Sahabat Penulis.
Semoga rangkaian edisi kali ini dapat memperlengkapi Sahabat Penulis
dalam menapaki ranah tulis-menulis. Sehingga dapat menolong Anda
untuk menghasilkan hasil karya yang tidak hanya baik, melainkan
hasil yang menjadi berkat bagi orang lain dan keharuman bagi nama
Tuhan. Selamat belajar dan menulis.
Pimpinan Redaksi e-Penulis,
Puji Arya Yanti
___________________________MUTIARA PENULIS____________________________
ADA TIGA ATURAN MENULIS CERITA YANG BAIK, TAPI MASALAHNYA,
TAK
SEORANG PUN TAHU APA ITU
______________________________ARTIKEL 1_______________________________
KODE ETIK DAN TANGGUNG JAWAB PENULIS UNTUK HASIL TULISAN YANG BAIK
Penulis atau pengarang yang ingin berekspresi melalui tulisannya,
tentu tidak begitu saja menulis dengan sekehendak hatinya. Ia
memunyai gagasan atau pemikiran yang ingin disampaikan kepada orang
lain. Tentu ia juga harus lebih dahulu berpikir apakah orang lain
dapat begitu saja memahami apa yang disampaikannya dalam tulisan
itu? Sebab apabila cara penyampaiannya salah atau keliru, pembaca
tidak akan memahaminya. Bisa jadi salah tafsir. Mungkin saja akan
ada pembaca yang protes, bahkan membantah pendapatnya.
Kritik, bantahan, bahkan kecaman pembaca sudah menjadi risiko
seorang penulis. Namun sebaiknya, segala sesuatunya telah
direnungkan dan
diantisipasi sebelum menulis. Kritik yang positif
dan memuji akan menyenangkan. Sebaliknya, kritik yang negatif dan
bersifat membantah memang dapat membuat penulis putus asa. Semua ini
dapat dihindari dengan persiapan sebelumnya. Penulis harus memiliki
tanggung jawab terhadap tulisannya. Jika ia bermaksud menyampaikan
pendapat, gagasan, pemikiran, dan perasaan, tentunya karena ia yakin
bahwa semuanya itu akan bermanfaat bagi orang lain. Tulisan tentang
masalah-masalah kesehatan dalam jurnal kedokteran, misalnya, pasti
memiliki dasar-dasar yang kuat untuk dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Begitu juga tulisan bertema sosial, agama, teknologi modern,
ekonomi, dan sebagainya. Si penulis harus menguasai materi yang
disajikannya.
Dalam menulis, seorang penulis setidaknya harus menyadari tiga hal
yang merupakan
kode etiknya, yaitu:
1. unsur informasi,
2. unsur edukasi/pendidikan, dan
3. unsur hiburan.
Ketiganya terpadu dalam suatu karya tulis yang akan memberi manfaat
yang menyenangkan pembaca. Dengan membaca suatu tulisan, apakah itu
fiksi, seperti cerita pendek, puisi atau novel, maupun nonfiksi,
misalnya tentang sejarah, ilmu kesehatan, flora dan fauna, pembaca
memeroleh informasi sekaligus juga dapat mempelajari sesuatu.
Tulisan yang enak dibaca, dengan susunan kalimat dan frase yang
jelas dan lancar, apalagi bila ada selingan humor segar, dengan gaya
tulisan yang menarik, tidak gersang, pasti disukai oleh siapa saja.
Jadi, dengan membaca sebuah buku atau artikel, seorang pembaca dapat
memahami informasi yang disampaikan. Bacaan itu akan lebih menarik
perhatiannya apabila berisi hal-hal yang
ingin diketahui dan
dipelajarinya. Selain itu, hal-hal yang disampaikan benar-benar
memberinya manfaat. Misalnya, seseorang ingin membaca buku tentang
bagaimana menanam pepaya. Ia dapat belajar menanam pepaya dan
membuktikan sendiri bahwa teknik dan seni menanam pepaya yang
dibacanya itu dapat dipraktikkan dan berhasil.
Memang tidak semua buku dapat dipraktikkan seperti itu. Ini hanya
gambaran tentang kode etik bagi penulis berkaitan dengan tanggung
jawabnya. Penulis yang tidak menyimak rambu-rambu tulisan menjadi
kurang hati-hati dan menulis semaunya sendiri, yang penting asal
laku. Misalnya, buku-buku porno. Buku-buku tersebut memang laris di
pasaran walaupun berselera rendah. Tetapi, pornografi tidak memiliki
unsur mendidik, kalaupun mengandung informasi, sifatnya vulgar,
tidak bermutu. Tulisan seperti ini
dapat merusak moral, terutama di
kalangan generasi muda. Di mana tanggung jawab penulis yang katanya
ingin berekspresi untuk menyampaikan gagasan kepada orang lain?
Tulisan-tulisan demikian tentu saja melanggar kode etik dan dapat
dikategorikan sebagai buku-buku terlarang dalam sebuah negara yang
telah memiliki undang-undang tentang pornografi.
Kesadaran akan tanggung jawabnya itulah yang harus ada dalam jiwa
setiap penulis. Keberaniannya untuk menyampaikan pendapat dan
kebebasannya untuk berekspresi di arena tulis-menulis akan dihargai
oleh masyarakat pembaca apabila ia memang memiliki kemampuan untuk
memertanggungjawabkan manfaat maupun kebenarannya. Apalagi jika buku
itu mampu menggerakkan hati nurani pembacanya dan kemudian
menciptakan opini di kalangan masyarakat. Inilah keberhasilan
seorang penulis atau
pengarang. Bahkan, buku-buku seperti ini dapat
mengubah pandangan dunia.
Beberapa novel termasyhur telah mengubah opini dunia. Misalnya, buku
berjudul “Uncle Tom’s Cabin” karya Harriet Beecher Stowe yang
bercerita tentang kejamnya bisnis perbudakan orang-orang kulit hitam
yang tidak manusiawi. Bukan hanya Amerika yang terguncang. Seluruh
dunia terperangah membaca buku yang dengan berani membuka
borok-borok bisnis yang mendatangkan keuntungan besar ini. Satu
lagi contoh tentang keberanian pengarang mengungkap fakta buruk yang
disembunyikan, yaitu ketika pengarang Perancis, Emile Zola, membela
Alfred Dreyfus, seorang anggota militer Perancis yang dijebloskan ke
penjara karena fitnah. Penyimakannya atas kasus yang menghebohkan
ini membuktikan bahwa Dreyfus tidak bersalah. Karena itu, ia
bertekad untuk membuka
skandal yang melibatkan orang-orang penting
dalam dinas militer Perancis pada awal abad ke-19 itu. Ia menulis
surat terbuka kepada Presiden melalui surat kabar L’Aurore di bawah
judul “J’Accuse”. Novelis besar ini berani menanggung risiko masuk
penjara demi kebenaran yang diyakini. Hal ini tidak sia-sia karena
Alfred Dreyfus kemudian dibebaskan. Bayangkan betapa hebatnya dia.
Sendirian, hanya bersenjatakan pena dan tinta, Emile Zola berhasil
mengungkap skandal korupsi di balik peristiwa yang menggegerkan itu.
Cuplikan kisah tentang keberanian Harriet Beecher Stowe dan Emile
Zola hanyalah dua di antara beribu-ribu pengarang pemberani yang
tersebar di pelbagai negara di seluruh dunia. Di mana-mana, di
sepanjang zaman muncul dan akan terus muncul orang-orang yang setia
kepada hati nuraninya dan menyampaikan pengalaman,
gagasan, dan apa
saja yang mereka rasakan melalui tulisan. Demi kebenaran dan
keadilan, para pengarang bersedia menghadapi risiko apa pun. Mereka
adalah para pahlawan yang tidak berharap hadiah apa-apa kecuali
berekspresi kepada pembacanya untuk tujuan yang mulia. Tentu berbeda
sekali dengan mereka yang hanya ingin memanfaatkan profesi menulis
untuk tujuan yang menyangkut kepentingan diri sendiri.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Teknik Menulis Cerita Anak
Judul bab: Menulis
Judul asli artikel: Kode Etik/Tanggung Jawab
Penulis: Titik WS
Penerbit: Pink Books, PUSBUK, dan Taman Melati, Yogyakarta 2003
Halaman: 8 — 14
______________________________ARTIKEL 2_______________________________
KRITERIA TULISAN YANG BAGUS
Setiap orang memiliki selera
sendiri-sendiri dalam menilai sebuah
tulisan. Tetapi, hendaknya kita berkiblat kepada pendapat orang yang
dinilai berkompeten menelaah karya tulis sesuai dengan pendidikan
dan reputasinya. Tulisan yang bagus juga seharusnya bebas dari
“pesan sponsor” yang lazimnya adalah penguasa. Dan akhirnya, nilai
suatu tulisan pun ditentukan oleh budaya dan pola pikir masyarakat
pada zamannya.
Normalnya, tulisan bagus memenuhi kriteria-kriteria standar sebagai
berikut.
– Mengungkapkan Hal-Hal Baru
Sebuah tulisan sudah tergolong bagus apabila ia mengungkapkan
hal-hal baru. Contoh paling gampang dapat ditemukan dalam
jurnal-jurnal ilmiah. Publikasi hipotesis yang menyatakan bahwa
virus HIV penyebab penyakit AIDS oleh Dr. Robert Gallo langsung
dianggap tulisan bagus karena
jelas mengungkapkan hal baru.
– Benar dan Lengkap
Mana mungkin berita atau cerita bohong bisa jadi tulisan bagus?
Memang menghebohkan, tetapi itu tidak bagus. Mengesampingkan fiksi
atau kisah fantasi, jelas tulisan bagus harus juga mengandung
kebenaran dan lengkap (faktual). Tengoklah, berita atau artikel
“feature” di surat kabar bereputasi baik selalu menjunjung
nilai-nilai kejujuran dan berprespektif komprehensif; berbeda
dengan tulisan di “koran kuning” yang hanya mementingkan sensasi.
– Merupakan Pendapat/Ide Orisinal
Tulisan yang bagus biasanya sekaligus merupakan pendapat orisinal
penulisnya. Kolom atau opini yang dimuat dalam media massa
dianggap bagus apabila mencerminkan pendapat/solusi/saran orisinal
penulisnya atas
suatu kejadian atau masalah. Tulisan yang tidak
berisi ide baru tak dapat dikatakan bagus, walaupun penyajiannya
memikat.
– Isinya Menggugah
Isi tulisan yang bagus bisa menggugah pembacanya untuk berbuat hal
positif, memerbaiki karakter dan moral masyarakat, atau paling
tidak, memberi inspirasi yang mencerahkan.
– Temanya Istimewa
Tema yang tidak biasa dapat menyulap sebuah tulisan menjadi
bernilai tinggi dan bagus. Ketika orang ramai menulis tentang
pentingnya menghentikan pengeluaran izin baru bagi penebangan
hutan, Anda dapat menulis soal kelangkaan bahan baku kayu yang
mungkin dialami pabrik kayu lapis dan industri mebel kayu sebagai
konsekuensinya. Hasil karya ini bisa dianggap tulisan bagus karena
temanya
berbeda dengan pandangan umum.
– Mengandung Kejutan
Novel-novel detektif, “suspense” atau “thriller” mengandalkan
ketegangan dan kejutan untuk menjadi karya terpoluler dan terbaik.
– Menyangkut Peristiwa Besar
Analisis-analisis yang ditulis menyangkut suatu peristiwa besar
berpotensi menjadi tulisan bagus. Misalnya, pandangan baru atas
Revolusi Perancis (1789) atau pendaratan Apollo II di bulan (1963)
selalu menarik dan berpeluang menjadi karya bagus, biarpun mundur
menentang waktu.
– Mengenai Orang Ternama
Hillary Clinton menulis sepenggal otobiografinya, “It Tooks a
Village”, dan laris sebab ia pernah menjadi Ibu Negara Amerika
Serikat. Semua orang ingin tahu tentang pengalamannya selama
mendampingi Presiden Bill
Clinton (1992 — 2000). Kalau Suminah
juga menulis riwayat hidupnya, pasti sulit menjadi tulisan yang
diminati, sebab orang tidak mengenal siapa Suminah.
– Bahasanya Bagus
Karya Linus Suryadi Ag, “Pengakuan Pariyem”, diakui bagus,
teristimewa karena ditulis dalam format prosa lirik dengan
kata-kata yang indah dan mendalam. Biasanya karya yang
dikategorikan bernilai sastra, apalagi puisi, selain temanya
menyentuh, bahasanya juga luar biasa.
– Penulisnya Top
Jika enak atau tidaknya makanan bergantung kepada keahlian juru
masak yang mengolahnya, maka bagus tidaknya karya tulis pun sering
kali ditentukan oleh siapa penulisnya. Sekali seorang penulis
menghasilkan karya bagus, maka karyanya selanjutnya cenderung
dianggap bagus pula.
– Terpublikasi Melalui Media Tepat
Tulisan bagus juga perlu dipublikasikan melalui media yang tepat
dan dengan cara yang baik. Cerita pendek yang dimuat dalam Majalah
Sastra Horizon, umpamanya, selalu ditafsirkan sebagai cerpen
bagus. Dalam kata-kata lain, tulisan yang bagus sekalipun tidak
akan tampak bagus apabila dipublikasikan melalui media yang
“salah”.
Semakin banyak suatu tulisan memenuhi kriteria-kriteria di atas,
semakin bagus pula nilai tulisan itu. Jadi, untuk menghasilkan
tulisan yang dapat dinilai bagus, Anda perlu berusaha merancang dan
mengerjakannya mengikuti koridor batas-batas kriteria di atas.
Tulisan Anda memang tak dapat disaring lolos melalui semua kriteria
tersebut, sebab nilai sebuah karya tulis pun memang perlu
ditentukan
terlebih dahulu kategorinya sebelum diuji mutunya menurut kriteria
yang sesuai. Jika Anda menulis roman, contohnya, tentu tidak perlu
menyajikan data dan mungkin tidak selalu harus ada hubungannya
dengan orang-orang tersohor.
Bagus tidaknya karya tulis dapat ditentukan pula oleh golongan
pembacanya sendiri-sendiri. Maksudnya, suatu tulisan bisa dinilai
bagus oleh kalangan pembaca tertentu, tetapi sebaliknya, dianggap
tidak bagus oleh kelompok pembaca lain. Karya Pramoedya Ananta Toer
menjadi contoh yang tepat. Meskipun berbaur dengan alasan politik
dan ideologi, karya P.A. Toer pada satu sisi dicemooh oleh golongan
tertentu, tetapi pada sisi lain dipuji oleh golongan yang berbeda.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Jadi Penulis Ngetop Itu Mudah
Judul artikel: Kriteria
Tulisan Bagus
Penulis: Lie Charlie
Penerbit: Nexx Media Inc., Bandung 2006
Halaman: 2 — 5
_________________________________TIPS_________________________________
KRITERIA UNTUK MENILAI KARYA TULIS
Berikut ini adalah lima panduan dalam menulis sebuah karya tulis
yang efektif. Semua karya tulis pada akhirnya akan dinilai
berdasarkan kriteria-kriteria yang terkandung dalam tips-tips
berikut.
1. Fokus. Kenali benar-benar topik karya tulis Anda, entah topik itu
adalah pilihan Anda sendiri atau pilihan orang lain yang harus Anda
kerjakan.
2. Karya tulis Anda harus logis. Ungkapkan argumen Anda dengan baik
dan tuliskanlah pernyataan/kalimat Anda dengan akurat. Hubungkan
poin-poin tulisan Anda sehingga ada alur yang jelas dari satu ide ke
ide yang lain. Kembangkan poin-poin
yang Anda angkat dengan
maksimal.
3. Organisir tulisan Anda dengan baik. Periksa apakah ada pengantar,
isi, dan penutup. Buatlah pengantar yang jelas sehingga pembaca
dapat menangkap apa yang Anda tulis dan apa yang akan Anda ungkapkan
mengenai topik tulisan Anda. Tulislah isu-isu mengenai topik yang
Anda angkat di bagian isi. Lalu tuliskan penutup yang mencakup semua
dari apa yang Anda telah ungkapkan tanpa terkesan mengulanginya.
4. Buatlah contoh-contoh pendukung. Berikan contoh-contoh spesifik
atau bahan-bahan yang mendukung argumen yang Anda tulis.
Sebutkan/sertakan orang-orang, istilah-istilah, paragraf-paragraf
yang spesifik, judul, dll.. Sertakan pula sumber dari informasi atau
bahan-bahan pendukung tersebut dengan menggunakan tanda petik,
kutipan dalam paragraf, atau bibliografi. Pastikan Anda
menyertakan
sumber-sumber tersebut dengan cara atau format yang benar.
5. Sunting tulisan Anda dan betulkan kesalahan-kesalahan ketik. Beri
spasi dua pada tulisan Anda dan batas kertas (margin) 1 cm. Beri
nomor halaman pada tulisan Anda. Periksa apakah hasil cetakan
tulisan Anda bisa dibaca dengan baik. Tuliskan kalimat Anda dalam
kalimat lengkap yang memenuhi kaidah tata bahasa dan ejaan. (t/Dian)
Diterjemahkan dan disesuaikan dari:
Nama situs: Janet Sturman’s Virtual Office and Home Page
Penulis: Tidak dicantumkan
Judul asli artikel: Criteria for Evaluating Written Work
Alamat URL: http://www.u.arizona.edu/~sturman/syllabus/107labs/writing.html
____________________________POJOK
BAHASA______________________________
DISAPA “ANDA” MALAH TERSINGGUNG
Suatu ketika di sebuah sekolah, seorang kepala sekolah dipusingkan
oleh sebuah masalah. Satu orang tua siswa mengadu kepadanya tentang
wali kelas anaknya. Dia merasa tersinggung oleh ucapan wali kelas
itu. Kemudian kepala sekolah memanggil si wali kelas yang kebetulan
guru bahasa Indonesia. Kepala sekolah merasa heran mengapa seorang
guru bahasa Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa yang baik
sehingga membuat lawan bicaranya tersinggung. Dia berniat
mempertemukan wali kelas dan orang tua murid itu.
Setelah dipertemukan, ternyata yang menjadi masalah bukanlah isi
pembicaraan yang disampaikan wali kelas, melainkan kata “Anda” yang
digunakan wali kelas dalam berbicara. Menurut orang tua siswa itu,
dengan kata “Anda”, wali kelas
sengaja menjaga jarak dengannya
sehingga dia merasa menjadi orang asing dan tidak nyaman. Dia juga
menganggap wali kelas anaknya itu sombong dan memandang rendah
dirinya.
Sementara, sang wali kelas yang guru bahasa Indonesia itu
terheran-heran. Menurut kamus dan pengetahuan santun berbahasanya,
kata “Anda” adalah kata ganti orang kedua yang digunakan untuk
menghormati lawan bicara.
Setelah permasalahan antarpersonal diselesaikan, dilakukan
penelitian kecil dengan menanyakan tanggapan para orang tua siswa.
Ternyata hal tersebut dirasakan oleh mayoritas orang tua siswa yang
mendapat kata “Anda” dalam sapaan. Maka segeralah kepala sekolah
mengimbau para wali kelas untuk tidak menggunakan kata “Anda” ketika
berbicara dengan orang tua siswa. Para wali kelas disarankan
menggunakan kata sapaan “Bapak”
atau “Ibu” saja.
Peristiwa tersebut hanyalah satu dari sekian peristiwa yang muncul
dengan permasalahan yang sama. Dalam masyarakat penutur bahasa
Indonesia, ternyata kata “Anda” telah mengalami pergeseran makna.
Selama ini diketahui bahwa kata “Anda” menimbulkan konotasi positif,
sopan, dan resmi. Konotasi ini berbeda dengan konotasi yang
ditimbulkan kata “kamu” atau “engkau”.
Modifikasi memang penting untuk keberhasilan kehidupan suatu bahasa.
Tetapi dalam penggunaannya, bahasa tetap milik masyarakat penutur.
Ketentuan tinggallah ketentuan, masyarakat penuturlah yang
menentukan pemakaiannya. Walaupun dalam ketentuan suatu kata
memiliki konotasi positif, apabila masyarakat merasakan lain,
konotasi versi masyarakatlah yang terus hidup.
Hal itu merupakan bukti baru kehidupan bahasa Indonesia. Bahasa
yang
hidup akan terus bergerak mengikuti perkembangan budaya penuturnya.
Apabila ternyata kata sapaan memang lebih pantas dan nikmat bagi
pengguna, mengapa tidak. Merunut asal-usulnya pun, kata sapaan
merupakan kata yang digunakan untuk memunculkan keakraban di antara
pemakai bahasa. Dengan adanya sapaan, lawan bicara akan merasa lebih
diakui oleh pembicara.
Kata sapaan seperti “Bapak”, “Ibu”, dan sapaan kekerabatan lainnya
menimbulkan kesan hormat atau hangat. Sementara kata sapaan yang
menyangkut profesi atau kedudukan juga mendatangkan hal positif bagi
orang yang diajak bicara. Kata sapaan “Dokter”, “Suster”,
“Profesor”, dan sebagainya akan menimbulkan kesan pengakuan
pembicara terhadap posisi lawan bicaranya.
Mencermati fenomena baru ini tentu saja ada kesimpulan yang dapat
ditarik.
Pertama, tidak selamanya sesuatu yang dirumuskan oleh ahli
bahasa dapat sesuai dengan selera penutur bahasa. Kedua, bahasa
tidak berhenti pada satu titik, tetapi terus bergerak sehingga para
pembina bahasa terus mencermati dan terus melakukan penyesuaian.
Ketiga, semua orang yang paham kebahasaan dan tata aturannya tetap
harus mencermati perkembangan budaya di sekelilingnya. Dalam
pelaksanaannya, penggunaan bahasa yang benar tidak selalu merupakan
bahasa yang baik.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul majalah: Intisari, Maret 2007
Penulis: Idham Hamdani
Penerbit: PT Intisari Mediatama, Jakarta 2007
Halaman: 86 — 87
Comments are closed.