Memento mori

Sebuah rencana kadang kala dapat baru terwujud setelah beberapa waktu yang lama.  Beberapa kali rekan saya mengajak ke rumahnya di daerah Kuningan untuk menikmati halaman belakangnya yang asri. Ada kolam yang berisi ratusan ikan, serta ada gazebo di tengah kolam membuat rasanya bukan di sebuah rumah.  Ditambah lagi pemandangan gunung Ciremai yang anggun, membuat pikiran terasa segar, lepas sejenak dari hiruk-pikuk kota.

Pembicaraan diisi tentang bagaimana sejarah adanya  rumah tersebut. Ia memperoleh rumah itu dengan cara yang ajaib. Pemilik rumah kenal dengan mertuanya, dan menyatakan bahwa ia hanya ingin menjual rumahnya dengan menantunya. Rekan saya tidak memiliki uang yang cukup saat itu, namun lewat anak pemilik rumah yang bekerja di bank, rekan saya  dibantu segala persyaratan  persyaratan perkreditan di bank. Alhasil rumah itu dimilikinya dengan catatan adanya saldo passiva di neraca.

Satu hal yang saya kagum dengan kehangatan orang Indonesia, yaitu keramahannya. Tampaknya keruwetan media social menjadikan kita menjadi manusia yang terpaku pada gawai, alih-alih bercengkerama, bertukar kisah hidup. Hal ini tercermin dalam percakapan kami di teras belakang, istri rekan saya menyiapkan bala-bala hangat dengan sambal kecap pedas, serta buah-buahan yang tumbuh dari halaman belakang. Saya teringat pada perkataan seorang kakak yang mengatakan bahwa bagi dia, makan merupakan sentral kehidupan.

Bala-bala itu cukup banyak kami makan, bahkan buah jambunya habis. Tampaknya kami tamu yang kelaparan. Mungkin bukan saja kelaparan fisik tetapi kelaparan suasana yang damai dan penuh ketenangan. Mata kami ruwet dipenuhi barisan kalimat-kalimat isi surat yang kaku, undangan rapat yang mendadak, dan keruwetan mendesak lainnya yang minta didahulukan.

Kami pulang

dengan perut kenyang

rekan saya dan keluarganya melambaikan tangan

tadi pagi ibunya meninggal.