Rabu abu

Akhir-akhir ini hujan terus-menerus turun di seputaran Kota Bandung setelah pukul 12 siang. Demikian juga siang tadi, ketika melakukan survey lokasi konsinyengir di selatan Bandung, hujan turun tanpa saya persiapan payung.

saya tergoda menenggak parasetamol seperti biasanya, namun memang tidak tersedia di tas saya saat itu. Pikiran saya ingin segera menuntaskan perjalanan survey tersebut, supaya agenda selesai dan keputusan ditentukan. Maklum, bicara masalah selera, sangat-sangat subyektif, dan saya bukan kapasitas menentukan hal tersebut. Dua hari berturut-turut dalam perjalanan mobil ternyata lelah sekali dibanding naik kereta. Perjalanan pulang ke kantor sore itu saya tidak bisa terpejam sedikitpun, karena saya yang membawa rombongan survey kembali dimana salah satunya adalah atasan saya. Satu-satunnya yang menghibur adalah pemandangan di kiri dan kanan jalan, rintik hujan yang mengetuk kaca secara teratur membuat suasana sedikit lebih sendu.

Begitu tiba, saya menanyakan kabar ayah pegawai kebersihan kantor yang siangnya masuk rumah sakit. Saya memperoleh kabar bahwa bukan sekedar control perawatan, namun dokter menyarankan agar dirawat inap, mengingat kondisinya yang perlu perawatan ekstra. Saya hanya berpesan kepadanya agar menjaga kesehatan. Kadang memberi nasihat lebih mudah daripada melaksanakan, sungguh manusia munafik seperti saya harus bertobat.

Sebelum pulang, saya sadar bahwa sorenya ada kebaktian rabu abu, saya ingat entah sudah berapa lama yang lalu saya kebaktian rabu abu di Bandung. Terakhir di GKI Maulana Yusuf, sekitar tahun 2017. Saya ingin kesana lagi, dan sudah menelpon jam kebaktiannya, namun saya urungkan karena lagi-lagi karena hujan dan waktunya sudah sangat mepet dari jam pulang. Saya memutuskan ke gereja terdekat yang masih bisa terjangkau jalan kaki. Saya ingin merasa pengalaman baru. Pengalaman tempat dan waktu menurut saya kadang kala patut dicoba. Saya pulang dan persiapan berangkat berbekal payung.

Saya tiba dengan jemaat yang belum begitu banyak, saya menikmati keteduhan di dalam gereja. Organis memainan musik dengan suara lembut dan saya mengamati seluruh interior yang baru pertama kali saya datangi itu. Penatua menyampaikan bahwa acara berlangsung secara mengalir. Pendeta yang melayani saat itu sangat ekspresif  membaca liturgi maupun ayat-ayat alkitab seperti membaca puisi. Pada bagian ini saya tercekat:

Sebab Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan;
Sekiranya kupersembahkan korban bakaran,
Engkau tidak menyukainya
Korban Sembelihan kepada Allah adalah jiwa yang hancur;
Hati yang patah dan remuk
Tidak akan kau pandang hina ya Allah

Saya merasa tak lebih debu
perlambang kefanaan
Saya pulang
Meski masih gerimis