Sabda Khong Guan dalam Syukuran Sutabawor

Perjamuan Khong Guan dan Senyum Karyamin |
Joko Pinurbo dan Ahmad Tohari

In three words I can sum up everything I have learned about life: it goes on.

Robert Frost

Buku yang saya baca ulang di awal tahun 2021 ini mengingatkan Kembali pada masa-masa blogwalking, membuat giveaway, membuat surat di mailing list komunitas, dan berdiskusi membuat program-program membaca. Seruan untuk melakukan pekerjaan dari rumah pun semakin menggema di ruang maya kotak surat. Keadaan semakin berbahaya sebenarnya, tetapi saya merasa malu bila tidak melakukan apa-apa. Saya membayangkan cak siapa Namanya yang selalu semangat dan ramah melayani pembeli sarapan nasi sotonya di suatu pagi. Ia bilang begini, kalau matahari tidak ada, tidak akan membuat orang mati, hanya membuat orang lemas. Bagi saya, ungkapan itu sangat puitik, bernas, dan memiliki kedalaman makna. Ia mengatakan hal tersebut dengan pengalaman di belakangnya yang tidak semuanya terceritakan. Mendengar ucapan itu, saya seperti membaca buku. Betapa ajaib.

GAJIAN

Kepada siapa

Gajimu yang indah

Dipersembahkan?

Kepada kak iman

Yang hatinya kaya.

Kepada kak amin

Yang menunggu

Di seberang sana.

(2018)

Perihal gajian adalah produk dari masyarakat Pekerja. Jelas ada upah yang dibayarkan secara teratur atas “pengorbanan” yang sudah dilakukan. Satu soal yang penting, tidak ada korelasi semakin banyak bekerja semakin memiliki banyak uang. Mungkin dalam ilmu eknonomi, perbedaannya adalah mana yang memberikan lebih banyak economic values itulah yang mendapatkan upah lebih banyak. Kita tidak dapat memungkiri tenaga kerja cina yang murah, makanya hp di tangan anda bersumber dari sana, bahkan HP sekelas Apple. Tampaknya tidak ada negara yang sanggup menandingi murahnya biaya tenaga kerja di Cina. Jadi, apakah kita, menggunakan produk yang bersumber dari hasil ekploitasi manusia? Entahlah. Kita pura-pura tidak tahu saja.

Joko Pinurbo dengan gaya khasnya mengulik hal-hal yang tampaknya sederhana, tampaknya biasa, menjadi puisi yang humor, yang tanpa kata-kata yang cukup, kita mengiyakannya. Kumpulan puisi ini tampaknya dibuat dalam kurun waktu yang cukup berdekatan, yaitu sejak 2017-2019. Ada empat bagian periode dalam buku ini, Jokpin memberi istilah kaleng kesatu sampai kaleng keempat dimana masing-masing bagiannya punya cerita unik. Pada kaleng pertama, mengisahkan keseharian seseorang, pergumulan yang tampaknya “receh” tiap hari. Tapi disinilah kecerdasan Jokpin. Kisahnya pada peristiwa seperti dompet, rumah sakit, ponsel, wawancara kerja sebetulnya kisah yang tragis, miris, tapi ia mampu melampaui kesedihan, ketidakberuntungan, kesialan, menjadi cerita (puisi) yang jujur, hingga menertawakannya. Sepertinya hidup itu ya nangis nggak usah banyak-banyak dan nggak usah drama-drama. Dibuat ketawa saja.

Meski ketawa dalam perih.

IBU KHONG GUAN

Ibu pulang dari gereja

membawa lima roti dan dua ikan

dalam kaleng Khong Guan

persediaan makan sebulan.

(2019)

Buku kedua yang say abaca ulang adalah kumpulan cerpen Ahmad Tohari, Senyum Karyamin. Ketiga belas cerpen ini dikumpulkan oleh Maman S. Mahayana yang memberi kata pengantar. Maman menyatakan bahwa kekhasan Ahmad Tohari adalah pada cerpennya tampak gaya pengucapannya yang kental, padat dan langsung ke pokok masalah. Hal ini boleh jadi karena Ahmad Tohari selaku sastrawan yang santri atau santri yang sastrawan. Hal lain yang menjadi ciri pokok cerpen Ahmad Tohari pada buku adalah cerita mengenai  kehidupan sehari-hari orang biasa. Tokoh dalam ceritanya menjelma menjadi Karyamin, Suing dan Kimin, Cepon dengan bayi misteriusnya, Jabri, Blokeng, Sutabawor, Haji Bakir, Kenthus, Madrakum dan Kang Samin, Sulam, dan tentunya si narrator yang melukiskan kehidupan orang-orang yang diamatinya. Jika dikaitkan dengan zaman kini, bahwa sebuah berita menjadi bombastis jika sering dikunjungi, maka cerita Ahmad Tohari bukanlah cerita popular yang dihiasi nama orang yang beken atau tempat pelesiran, luar negeri, bernuansa modern, tetapi Terminal, pasar, desa, pengemis, kesurupan, orang gila, tukang batu, ngutang, lapar.

Kisah dunia rekaan Ahmad Tohari ini sebetulnya menunjukkan apa? Seandainya seperti film, gagasan apa yang hendak dikomunikasikannya?

Inilah yang dinamakan proses kreativitas. Saya mereka-reka Ahmad Tohari berjumpa dengan banyak orang, bercakap-cakap sambil mengingat-ingat percakapannya, dan menyambungkannya dengan cerita lain, dengan memberikan satu pokok masalah: hidup terkadang tragis. Tidak happy ending. Bahkan kalau tidak bisa ditangiskan, ditertawakan. Pada cerita, Pengemis dan Salawat Badar, narrator bercerita tentang suasana dalam bis yang belum juga berangkat di terminal Cirebon.

“Supaya jiwa raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang: sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan asap di belakangku itu.”

Suasana di atas hanya bisa dihayati oleh orang yang pernah mengalami betapa menjengkelkannya menunggu dalam bis/angkutan umum, dan tidak punya daya tawar. Ahmad Tohari sangat jeli mengkomunikasikan suasana hati, tanpa berlebihan. Itulah adanya!

Dalam cerita Wangon Jatilawang, narrator terusik dengan kata-kata Sulam:

“Pak, wong gemblung boleh tidak puasa kan?”

narrator sedang menimbang kegemblungan Sulam, dengan mengaitkannya dengan latar belakang Sulam yang ibunya juga mengalami keterbelakangan mental. tetapi yang menjadi poin Ahmad Tohari justru si narrator dengan cara berpikirnya yang terlalu banyak pertimbangan atas suatu rencana baik, dan itupun tak terlaksana keburu Sulam mati tergilas truk. Pola-pola serupa terlihat juga dalam cerita yang lain, yaitu lewat narrator Ahmad Tohari memberi ruang pada pembaca untuk gelisah atau bisa dikatakan terusik dengan cerita yang disajikannya.

Lalu apa hal yang dapat sekali Tarik dari pembacaan ulang terhadap kedua buku ini?

bagi saya, dalam kehidupan masyarakat yang sekarang yang dipenuhi dengan insta story, WA story, status chat, notifikasi yang riuh, ada kalanya kita harus pernah mengabaikannya dulu. Kedua sastrawan ini mengajak kita untuk mendalami kisah lebih dari sekedar membaca status pendek. Baik pendek kualitasnya maupun pendek waktunya. Menelisik ke dalam cerita seorang manusia, lebih membuat kita “merasa” berumur lebih dari yang seharusnya. Kedua, dalam dunia yang sedang sulit sekarang ini, kita harus peka melihat terlebih juga mendengar dengan telinga hati, bahwa cerita tentang ketidakadilan, ketidakberuntungan, termasuk kebersamaan, adalah cerita dengan sesama manusia. Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya, kata pengamsal, itu benar adanya. Sebetulnya kita bertambah bijaksana, ketika ditajamkan oleh sesama. Lewat apa?

Lewat cerita sudah lebih dari cukup.

Bagaimanapun, bagi anda yang mungkin mulai bosan dan jenuh dengan webinar, rapat daring atau streaming atau apalah Namanya yang selalu membutuhkan perhatian audio visual. Sekali-sekali membacalah sebagai rekreasi. Bacalah karya sastra yang bermutu, karena sastra yang tampil di hadapan anda menjalankan dua fungsi.  Pertama, menurut Horatio, fungsinya menghibur (dulce et utile) dan kedua menurut Edgar Allen Poe, sastra berfungsi sebagai Pendidikan yang menyenangkan (didactic heresy).

Kiranya hidup kita dipenuhi keindahan dan kesenangan.

Salam

Helvry sinaga

JudulSenyum Karyamin, Kumpulan cerita pendekPerjamuan Khong Guan, Kumpulan Puisi
PengarangAhmad TohariJoko Pinurbo
Tahun2019 (cetakan kesebelas)2020 (cetakan pertama)
Halaman88130
PenerbitPT Gramedia Pustaka Utama
Senyum Karyamin & Perjamuan Khong Guan

Rating: 4 out of 5.