Sebuah Cerpen 

Sebuah Cerpen 

Menyerahkan Diri Pada Kabut  

Oleh: Dian Cahaya  

Tapi aku akan memilih mencintai daripada ketakutan, meski melawan arus norma-norma, sistem nilai, mungkin (juga) agama” 

Adakalanya dihadapan kita tidak hanya ada satu jalan, namun kita harus  menghindar dari berbagai semak belukar, lorong-lorong gelap dan sempit, jalanan berliku dan penuh bahaya. Dihadapan kita telah terbentang jalan yang sulit nan panjang. Sebuah jalan yang mengarahkan kita menuju kebajikan dan kesempurnaan. Aku mafhum, bahwa menapaki jalan kesempurnaan merupakan tujuan primordial penciptaan dan keberadaan manusia. Manusia memiliki iman, pengharapan dan kasih, menggunakannya sebagai kompas ingatan adalah suatu keniscayaan, tanpanya manusia hanya akan menjadi seonggok daging yang tak lagi mencicipi lezatnya cinta.* 

Apakah mencintai diujung jurang perbedaan adalah sebuah kejahatan? 

Kekasih, sejak janji kita tahbiskan pada semesta, pada mulanya ragu mendera menyerang keyakinan atas apa yang telah kita pilih. Berulangkali narasi perpisahan di ucapkan dengan derai air mata, tangis yang pecah, dada yang sesak dan sepasang jiwa yang lemah, tak sanggup membuat cerita kita usai ketika itu. Saat semua pintu tertutup dan kebuntuan membayangi langkah kita. Tak perlu lama, kemudian tangan kita kembali saling menggengam, lalu kita saling berpelukan. ** 

Barangkali inilah bencana rasionalitas, mempertanyakan berulang-ulang perihal cinta dan keyakinan. Dalam relasi yang rumit di mengerti. Ibarat membentur dinding tembok yang menjulang tinggi nan angkuh. Aku kembali menghampiri tembok itu dengan ratapan dan sederet pertanyaan-pertanyaan yang musqil. “mengapa aku dilahirkan menjadi seorang perempuan Bugis dan mengapa lelaki yang kucintai dilahirkan sebagai seorang Batak? Mengapa aku terlahir dari keluarga Muslim sementara lelaki yang kucintai adalah seorang Kristen? Apakah kami tidak boleh memiliki kasih? 

Sepenuhnya aku mafhum, bahwa segala ketidakmungkinan bermula dari struktur sosial, sistem nilai dan juga norma-norma yang telah ada sebelum aku terlahir ke dunia. Aku tak mungkin sendiri menggugatnya, menggugat kemana? Mungkinkah ? Setelah frustasi dengan sederet pertanyaan  itu, lalu aku merutuki keadaan, merutuki waktu. Kembali pada tembok ratapan. Akankah perahu berlayar ketepian lalu bersandar kembali pada dermaga, mengubah rute perjalanan?*** 

Sore tadi seusai mengikuti Kebaktian sore di Gereja, Samuel menungguku dipelataran Gereja. Seperti biasa aku menghampirinya ditengah kerumunan orang-orang asing yang memandangiku penuh keanehan dan (mungkin) juga prasangka. Menatap sekujur tubuhku terutama jilbab yang menutupi kepala dan leherku. Aku sudah terbiasa, aku memasang senyum pada mereka. Hingga sebelum aku menemukan Sam, langkahku terhenti karena sapaan seorang laki-laki tua.  

“Haloo Mba Farah… apa kabar?”. Ternyata Pendeta Jerry. Beliau adalah kawanku semasa aku melakukan riset mengenai konflik di Ambon beberapa tahun lalu, kemudian aku menyapanya dengan gembira. 

“Assalamualaikum, Pak Pendeta. Berkah sekali saya bertemu bapa di Gereja. Bapa bertugas di Jakarta?” 

“Waalaikumsalam, Mba Farah, sudah 6 bulan saya bertugas disini. Ayo mari kita ngobrol dan ngopi” 

Sejujurnya aku bingung, saat itu pasti Samuel telah menungguku cukup lama. Dia pasti kesulitan menghubunginya karena baterai handphoneku hanya tinggal beberapa persen saja. Aku putuskan untuk menerima ajakan ngopi dadakan dari Pendeta Jerry.  

Beberapa waktu kemudian aku duduk diruangan kantor Pendeta Jerry, setelah aku menembus kerumunan orang-orang selepas Kebaktian sore. Alangkah kagetnya orang-orang itu melihatku begitu akrab dengan Pendeta Jerry, mungkin karena aku berjilbab, aku seorang muslim.  

“Ayo Mba Fe, diminum kopinya. Itu kopi Arabika Gayo khas Aceh Tengah.” 

“ terimakasih Pa Pendeta, perjumpaan ini membahagiakan seperti menikmati secangkir kopi ini di sore hari. Saya seperti bermimpi bertemu bapa, bertahun-tahun saya kehilangan kontak dengan bapa”. Pendeta Jerry tersenyum seperti  biasa, penuh kesederhanaan dan keramahan. Air mukanya masih sama seperti dulu; begitu tenang dan jernih.  

“saya juga seneng mba, saya kehilangan hp saya. Ketika kerusuhan itu terjadi lagi. Mimpi buruk bagi saya. Saya meilhat keganasan manusia yang dibakar kebencian dan dendam. Puji Tuhan sebulan setelah Mba Fe kembali ke Jakarta, saya masih diselamatkan Tuhan. Saya ditolong oleh seorang Ustad, Ustad Malik. Imam di Mesjid yang berada persis disamping Gereja. Saya sudah tidak menghiraukan tas atau benda-benda milik saya, yang penting saya selamat”. Ada  luka dihatiku  yang muncul tiba-tiba setelah mendengar cerita Pendeta Jerry. 

“ Alhamdulilah, pantas saja saya tidak pernah bisa menghubungi nomor telepon bapa. Saya mencari kabar melalui kawan-kawan aktivis Kontras yang masih ada di Ambon. Namun mereka juga luput mendapat kabar tentang bapa. Mereka hanya mengabarkan bahwa seluruh Gereja habis dibakar dan tak tersisa. Sementara di distrik lain Mesjid-mesjid pun telah rata dengan tanah”.  

“Betul sekali mba, Tentara dan Polisi seperti kehabisan tenaga dan peluru. Seruan saya pun pada jemaat tak lagi ampuh meredakan perseteruan. Mereka seperti dirasuki setan dan iblis yang haus darah.” Pendeta Jerry bercerita dengan penuh nelangsa. 

“Saat ini  kita patut bersyukur, berita rekonsiliasi di Ambon oleh pemerintah dan beberapa NGO telah berhasil membawa damai. Saya juga bersyukur bapa saat ini bertugas di Jakarta. Jadi saya bisa diskusi lagi ihwal Pejanjian Lama, heheheee” Aku berusaha mencairkan suasana,  mencari ekspresi ceria agar memecah suasana sendu karena cerita konflik di Ambon itu.  

“Eh, sebentar mba..keasyikan ngobrol sampai saya lupa menanyakan hal penting pada mba Farah. Mba kesini ingin menemui siapa mba? Dalam rangka apa? Tak mungkin sekedar main-main toh? Pendeta Jerry tersenyum penuh makna. 

“Oh itu ya pa, heheee..saya janjian dengan kawan saya..” 

“Lha kawane sopo? Jemaat disini?”. Perbincangan pun terhenti karena handphoneku berdering. Sam mencariku kesetiap sudut Gereja, ia mencemaskanku. Kemudian tanpa sempat aku jelaskan lebih rinci, aku berpamitan pada Pendeta Jerry. Perbincangan  diakhiri dengan bertukar no telepon. 

“sayang sekali mba Fe buru-buru” 

“iya bapa, tentu saya akan sering berkunjung nanti, saya janji” 

“Mba Fe masih ingat toh apa yang saya tuturkan bertahun-tahun lalu?” 

“tentu, tentu bapa.. Love beyond religion” sambil tersenyum dan bergegas aku mencium tangan Pendeta Jerry, ia pun tersenyum dengan air mukanya yang tenang”. **** 

Hari makin tua, rerintik hujan mulai menyapa tanah yang kerontang. Udara tak begitu bersahabat ketika itu. Waktu menunjukan pukul 18.59 WIB. Aku menepuk pundak Samuel dari balik rimbun pohon di sudut Gereja. Wajahnya penuh dengan rasa kesal yang bercampur cemas. Dia memelukku dan menciumi keningku, kemudian berkata; 

“kamu itu ahlinya bikin aku cemas” tutur Sam kesal 

“iya maaf..aku tidak sengaja membuatmu cemas. Tidak sengaja aku bertemu dengan Pendeta Jerry”. 

“Lha kamu kenal dengan beliau, kamu ga pernah cerita” 

“Lupa aku cerita. Beliau adalah salah satu narasumber risetku ketika di Ambon” 

“ Nah ini dia, salah satu keahlianmu, membuat aku cemas. tiba tiba handphonenya sulit dihubungi dan tiba-tiba bilang mau pergi ke daerah konflik ini itu…bla-bla..” 

“sudah sayang, kapan mau perginya kita..” Aku mengalihkan pembicaraan pada topik lain, yaitu rencana makan malam. Akhirnya aku dan Sam bergegas menuju mobil di halaman parkir Gereja, sia-sia kami menutupi kepala kami dengan alat seadanya, tubuh kami tak kuasa menolak basah karena hujan. Rencana kami semula berubah, kami putuskan untuk kembali ke apartemen.    

Pukul sembilan malam kami tiba di apartemen. Hujan diakhir pekan datang tanpa permisi. Nyaris tak ada aktivitas yang kami lakukan diluar rumah. Kami menyerah karena terjebak hujan lebat yang datang jelang senja tiba. Kami dipaksa untuk berdiam dalam satu ruangan, duduk berhadapan dengan posisi duduk yang tak nyaman. Aku memilih duduk di kursi yang menghadap ke balkon apartemen, sementara Samuel duduk di kursi rotan dan masih terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya.  

Banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya, dadaku sudah sesak menunggu pertemuan kali ini. Hampir satu pekan kami seperti orang asing. Tak ada komunikasi yang berarti selain hanya kebekuan. Aku menahan diri sekuat tenaga, sebisaku untuk tidak memulai percakapan yang sesungguhnya adalah esensi dari pertemuan kami akhir pekan ini. 

Sam (begitu biasa aku menyebut namanya) melirik jam tangan, lalu membuka ponsel androidnya. Secepat kilat ia melemparkan senyum padaku dan menikmati cangkir yang bersisi teh hangat yang aku seduh. Ia menarik napas panjang dan berusaha mengatur kembali posisi duduknya. Kami mulai berbincang; 

“Fe, bagaimana perasaan kamu saat ini?” 

“maksudnya? perasaan apa yang kamu maksudkan?” 

“hubungan kita” jawabnya singkat. 

“tidak ada korelasinya dengan pertanyaan yang kamu ajukan diawal”. 

“selalu kamu begitu”. 

“aku salah lagi?” 

“tidak kamu tidak salah. Mungkin cara memahamiku yang kurang tepat”. 

“Jadi?” 

“hemhh..kamu masih mencintaiku?” 

“kenapa pertanyaanmu harus dimulai dari hal-hal yang abstrak seperti itu?” 

“karena yang abstrak itu yang paling hakikat, Fe.”  

“bagiku tidak. Bagiku perbincangan kita kali ini harus dimulai dari segala sesuatu yang kongkrit. Ya kongkrit.” 

“kamu tidak pernah bisa berubah, Fe. Padahal banyak daratan di muka bumi yang telah engkau jelajahi” 

“dan kamu juga tidak bisa berubah. Selalu menganggap diri paling benar. Selebihnya orang lain tidak mutlak benar.” 

“Fe…” Sam tidak melanjutkan kata-katanya. Ia kembali terdiam seperti biasa.  

“kenapa kamu tidak pernah membuat kejelasan untuk hubungan kita?  

“sudahlah, Fe. Kita akan lelah jika memperbincangkan hal ini.” 

“kamu menyerah? Kamu tak ingin lagi memperjuangkanku?” 

“ini bukan perkara menyerah atau tidak. Kamu terlalu sederhana memaknainya, tidakkah kamu menilai segala daya upayaku selama ini?” 

“tidak Sam, kamu menyerah. Sudahlah nampaknya hubungan kita sudah tidak bisa diteruskan. Aku menyerah.” 

“Dengarkan aku, Fe, sayang.. tidakkah waktu masih terlalu muda untuk meringkus kesimpulan antara menyerah atau berjuang? Aku disini bersamamu, aku takkan pernah meninggalkanmu. Mengapa kita berdebat tentang masa depan lalu kita lupa bagaimana bersyukur untuk hari ini? Apakah makna berjuang bagimu adalah selayaknya perjuanganmu yang militan di daerah konflik? Tidak sayang, tidak begitu. Ini hidup yang kita pilih, kita merdeka. Tak perlu kita cemaskan apapun selama kita masih memiliki kasih.” 

“kamu..tidak mengerti bagaimana hatiku” 

“Tentu aku mengerti, seperti aku mengerti hatiku sendiri. Karena engkau adalah cerminku. Sudahilah semua ketegangan ini. Aku rindu memeluk seorang Fe yang manja. Meski kamu seorang aktivis yang feminis namun aku tahu kamu punya kelembutan sebagai seorang perempuan, manusia.” 

“Aku mencintaimu, Samuel” Aku tak kuasa menahan bulir-bulir air mataku yang pecah. 

“Aku mencintaimu, Farah. Engkau tahu sedari dulu bagaimana iman kita berbeda dan adat istiadat muasal kita dilahirkan sangat jauh berbeda. Aku tak mampu memberikan jawaban atas semua pertanyaan dan kecemasanmu, yang engkau tahu itu pun seringkali menyerangku sebagai kecemasan yang sama. Aku akan berjuang. Kau pernah berkata bahwa Tuhan manusia, para Malaikat dan semua Jiwa sanggup mengubah siang menjadi malam, artinya takkan ada yang sia-sia. Kasih yang akan menjadi energi kita untuk berjuang”.  

Malam makin pekat, perbincangan kami menghantarkan pada ujung kehangatan yang paling syahdu, tak ada lagi keraguan kala itu, yang ada hanya bahasa yang tak bersuara dalam ruang yang begitu hening. Nafas yang sesekali terhenti menolak putaran waktu. Agar terasa lebih lama, lebih lama terasa. Hingga waktu tak kuasa menolak kedatangan pagi yang bening.  

Dari balkon apartemen, aku dan Sam menatap langit pagi yang sedikit berkabut. Setelah selesai menikmati malam yang terasa singkat. Kami diam, kehilangan kata-kata. Kami saling merasakan bunyi degup jantung yang terlalu lama menahan rindu. Untuk pertama kalinya aku ingin membeli waktu. Sialnya aku harus bergegas dan bersiap menyiapkan keberangkatanku menuju Palestina untuk sebuah tugas riset.  

Aku melihat kabut sekaligus cahaya diwajah Sam. Aku mencintainya, Tuhan. Himpunlah kami dalam kerajaanmu. Aku sembunyikan wajah kesedihanku, karena aku memilih kepergianku ini, aku memilih ini sebagai wujud cintaku pada kemanusiaan dan perdamaian. Biar Tuhan yang menjaga jarak ini, yang kelak rindu pulalah yang akan mengekalkannya. Lamunanku terhenti ketika aku membereskan barang-barangku kedalam koper, Sam pun berkata; 

“Fe, sayang..dua tahun adalah waktu yang tak sebentar. Apakah kamu siap hidup jauh dariku? 

“aku yakin kita sanggup mengalahkan jarak ini. Kita bukan pemilik waktu. Jarak akan mengajari kita tentang percaya dan bagaimana mengalahkan prasangka” 

“sekuat itukah kau sekarang, Fe?” 

Aku menghampiri Sam yang terduduk di sofa, aku memeluknya. Dalam hatiku berkata, sejujurnya aku pun berat meninggalkanmu Sam. Hatiku rapuh, rapuh dalam keangkuhan. Semula aku memilih tugas ke Suriah sebagai bentuk protesku atas ketidakjelasan sikapmu, namun jawaban semua tanya baru aku mengerti dalam perbincangan tadi malam. Aku tak mungkin menuturkan kejujuran ini, karena mustahil aku membatalkan rencana yang telah lama aku persiapakan. Aku menatap koper dan ransel yang selesai aku kemasi juga paspor dan visa yang tergeletak diatas meja. Aku merasakan perih, namun tak lagi mampu aku menangis. Tuhan tahu hatiku.***** 

Pukul 10 pagi aku tiba di Bandara Soekarno Hatta, menuju terminal 3. Sam tak berhenti menggenggam tanganku dengan hangat. Sesekali dia memandangiku dengan penuh cemas dan rindu. Beberapa kali dia menanyakan bekal obat-obat lambungku. Dia bahkan hafal semua daftar obat pribadiku, dia mengenaliku lebih dari aku mengenali diriku sendiri, ia serupa semesta jiwa yang tercermin ibarat kutub yin dan yang. Di depan pintu check-in kami harus berpisah. Jadwal penerbanganku tersisa beberapa menit lagi. Sam memberikan sepucuk kertas ditanganku. “Bacalah jika waktumu telah hening”. Aku tak sanggup menatap matanya. Aku memeluknya erat, ya hanya memeluknya. Akhirnya tiba pada satu titik waktu, aku beranjak dan menjauh dari tatapannya. Perlahan tenggelam dalam kerumunan dan hiruk pikuk orang-orang di bandara.******* 

 

 

Jakarta, 27 Juli 2012 

“Semoga Tuhan memberikan kita kekuatan untuk melaksanakan ajaran KasihNya” 

Perempuan, jika kau panggul salibmu dalam merenda hari depan, dipastikan kita akan terseok-seok dan selalu pulang pada tembok ratapan. Tak ada yang mampu memastikan bahwa rindu dan cinta takkan lekang, termasuk pula oleh kenangan. Tak ada yang sanggup memastikan bahwa hari esok hanya dipenuhi oleh kebahagiaan; itu tidak manusiawi, kekasih. Tak mungkin. Tetapi kekasihku, ketidakmampuan keluar dari kecemasan tentang masa depan, akan memastikan beratnya perjalanan dan kesulitan menggapai asa bersama. Hidup yang demikian itu, adalah hidup yang akan mengarahkan kita pada sebuah kutub yang pasti; persimpangan jalan.  

Aku mencintaimu, seperti aku mencintai waktu; fana. Kasihlah yang membuat kita abadi. Kasihlah yang akan kita rayakan dalam kehidupan yang entah kapan akan kita jelang. Aku merelakanmu untuk melakukan tugas kemanusiaanmu. Aku mencintai kecantikan jiwamu. Hingga aku tekan rasa cemas melepaskanmu seorang diri ke daerah konflik. Aku tahu engkau akan kuat dan tabah menjalani waktu yang disesaki rindu, mungkin juga kecemasan. Aku hanya ingin mengajakmu untuk tabah menjalani waktu menungggu saatnya tiba. Sebelum semuanya tiba dan menjadi milik kita, ingin kubisikan padamu; “mari kita rayakan hidup”. Lupakan sistem nilai, norma-norma dan struktur sosial yang khatam kamu pelajari dalam disertasimu dan mata kuliah Filsafat Posmoderen. 

Lihat kasih kita, ada harapan disana. Cintaku; “silence gives answer”. Ada samar-samar cahaya dalam kegelapan  kabut. Kita akan jelang, jika tidak hari ini maka kelak-nanti.  

Yang mencintaimu dalam segala perbedaan,  

 

Samuel P.******* 

 

Pesawat yang aku tumpangi telah terbang sekitar 50 ribu kaki diatas permukaan laut. Sudah berlalu, 4 jam pesawat ini terbang dari Jakarta. Ribuan mil masih harus aku tempuh. Kuamati dari jendela pada langit yang beranjak senja, mata masih menjelajahi ingatan satu persatu, tiap jengkalnya membuat rinduku berurai air mata.  Kosmos ini adalah rahim yang akan mengantarkan manusia pada jagad lain; pada keabadian. Awan-awan berkumpul menjadi kabut yang bergerak membentuk kata-kata, langit menjelma menjadi keping-keping harapan. Namun kata-kata seringkali menjadi penjara.  Aku ingin katakan padamu; “Sam; aku ingin kuat dan hidup dengan berani dalam dunia yang ringkih ini. Tidak boleh ada yang tersesat setelah peristiwa adam dan hawa. Sebab hidup terus bergerak-mekanis, sekalipun berselimutkan kabut”.  Sebab kita semua mencintai hidup ini. Aku ingin merayakan hidup denganmu, Sam. ********