Sitor

We could never learn to be brave and patient if there were only joy in the world.

© Helen Keller

Kemarin, ketika sedang merampungkan penulisan resensi buku Mitos dari Lebak, saya menelusuri kembali penerjemah buku tersebut: Sitor Situmorang. Saya coba cari videonya di youtube dan terdapat video perjumpaan Sitor Situmorang dengan Pramoedya Ananta Toer. Mereka sudah tiada, namun perjumpaan dan percakapan kedua orang tersebut sangat terlihat akrab. Dalam suasana wajah dan keriput kulit yang menghinggapi, mereka seolah menertawakan situasi hidup yang tidak mudah yang merampas kemerdekaan masa muda mereka. Sekali lagi, tidak mudah. Alih-alih menyatakan “hilang”.

Cerita kemarin juga. Rekor baru pandemi tertinggi pada 7 Januari 2021, bertambah positif C19 sebanyak 9321 orang. Plus, beberapa rumah sakit di wilayah kabupaten atau kota sudah melaporkan kritis ruangan. Penularan semakin tidak terkendali. Pembatasan Sosial Berskala Besar akan kembali diberlakukan mulai tanggal 11 Januari 2021. Belum lagi, adanya mutasi SARS Cov2 dari Afrika Selatan dan Inggris yang akan berpengaruh pada keefektifan Vaksin. Tentu ini menambah kekuatiran kita, bagaimana sikap terhadap situasi ini. Tak cukup lagi 3 M, sudah ditambah lagi dengan 2M terbaru: Menghindari Kerumunan dan Mengurangi Mobilitas. Pertanyaan klasik kembali muncul: Mengapa ilmu pengetahuan belum mampu menaklukkan pandemi ini? Kita membacanya sebagai “woi ilmuwan, cepat tolong buatkan vaksin itu cepat-cepat”, “suntikkan cepat-cepat”. Tapi tunggu, apakah kita sudah melakukan bagian kita dalam komunitas dunia yang sedang “sakit” ini?

Kalau kita menyadari, titik soal penularan virus ini adalah kita tidak menyadari sepenuhnya bahwa virus SARS COV-2 ini adalah makhluk hidup. Persamaannya, sama-sama kita dan virus itu berjuang untuk hidup, eksis, berkesinambungan. Sama-sama melakukan esensi hidup, yaitu berjuang. Jadi, dari sudut pandang tersebut, kuncinya adalah hidup berdampingan. Adaptasi adalah kunci. . Kalau kita sudah kenal karakternya, kita tidak melakukan sesuatu yang bodoh bukan? Siapa yang beradaptasi, itulah yang bertahan.

Tentu dalam masa tunggu seperti ini, apa yang menjadi penghiburan kita? Pekerjaan tidak kunjung tiba, kebutuhan hidup tidak bisa ditawar. Maka, beruntunglah pada periode ini bagi yang masih bekerja, koreksi: bersyukurlah. Nikmatilah peran bekerja atau berkarya tidak terbatas tempat. Mungkin perlu dikaji ulang, apakah harus syarat masuk ke Perusahaan atau suatu institusi harus mempunyai surat keterangan sehat atau minimal tinggi badan, berat badan sekian. Tidak begitu penting lagi.

Lalu selama masa yang belum pasti ujungnya itu, apa yang dapat kita lakukan? Hal yang patut disadari adalah bahwa waktu kita sebetulnya terbatas. Terbatas dalam artian, hidup kita tidaklah abadi. Situasi pandemi ini seharusnya semakin menyadarkan kita tentang hal itu. Dengan cara pandang yang lama, kita mengenal suatu karya lewat hal-hal yang sifatnya fisik, nyata. Namun sekarang, karya lebih banyak dinikmati atau dirasakan secara digital. Kita tahu, dunia yang tanpa batas itu hampir-hampir mengalahkan dunia khayal. Bedanya, jejak khayal tak bisa dilacak seperti halnya jejak digital.

Menurut analisis dangkal saya, ada dua hal yang menyebabkan orang dapat mencipta karya. Pertama karena mengekpresikan pengetahuan, kedua karena mengekspresikan situasi hati. Perihal pertama, tampaknya ranahnya para ilmuwan, birokrat, siswa, akademisi, politisi, pemimpin politik. Mereka ingin ada hasil nyata dari kiprah dalam masa tugas yang terbatas oleh waktu. Kadang tak heran, akan bersinggungan dengan mempertahankan kekuasaan. Perihal kedua, inilah ranahnya para pekerja seni. Mungkin bukan hanya pekerja tetapi pecinta seni. Model karyanya tidak mau terkekang oleh lini masa, pakem. Mungkin suatu karya meskipun sama, sama seperti matahari, meski terbit dan terbenam setiap hari, namun punya keindahannya sendiri.

Dalam situasi seperti sekarang ini, dimana peran pekerja seni, atau katakanlah penyair. Di tengah berita negatif yang positif, berita pengakuan video privasi yang salah tempat dan waktu, tahun baru yang senyap (namun ramai di ranah digital) Saya membayangkan mereka sedang berkontemplasi, merenungkan berita positif covid dan vaksin, PSBB, 3M, mungkin juga sedang antri bantuan sosial dan menulis baris-baris kalimat dari semesta kata-kata.

Sebuah puisi oleh Joko Pinurbo yang berhasil menggambarkan situasi terkini, meski dibuat jauh hari sebelum masa pandemi.

DOA ORANG SIBUK YANG 24 JAM SEHARI BERKANTOR DI PONSELNYA

Tuhan, ponsel saya
rusak dibanting gempa.
Nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa
ialah NomorMu.

Tuhan berkata:
Dan itulah satu-satunya nomor
yang tak pernah kausapa.

(2018)

FOTOKU ABADI

Saban hari ia sibuk
mengunggah foto barunya
hanya untuk mendapatkan
gambaran terbaik dirinya

“Siapa yang merasa
paling mirip denganku,
ngacung! ia berseru
kepada foto-fotonya.
Semua menunduk, tak ada
yang berani angkat tangan.

Dan ia makin rajin berfoto.
Teknologi narsisme
terus dikembangkan
agar manusia selalu
mampu menghibur diri
dan merasa bisa abadi.

(2018)

Penyair Inggris abad ke-19, Percy Bysshe Shelley memberikan sebuah usulan tugas bagi penyair, yaitu: “menyerap sains untuk mengasimilasikan ke dalam kebutuhan manusia, mewarnainya dengan jiwa manusia, serta menjadikannya berdarah dan bertulang-tulang manusia.”

Kita berharap ada secercah penghiburan, meski situasi pahit. Boleh jadi, saat inilah zamannya. Meski kita kadang tak pahamp, bagaimana keberanian menghadapi zaman dahulu terkoneksi ke zaman kini, Sitor Situmorang memberi pesan lewat puisinya, agar berani mencintai kesetiaan.

KEPADA ANAKKU

Hai, anakku jadilah tukang
Di waktu senggang jangan baca
Sajak-sajak petualang

Cintailah kerjamu
Lupakan kepedihan bapak
Tebusan duka ibu

Bila datang penyair
Jangan terima bertamu
Segala yang mengingatkan padamu
Usir

Bahagia
hanya di hidup sederhana

Antara pagi kerja
Dan senja memuja
Kehidupan sederhana
Di tengah manusia kenal setia

(1953)

Jl. Wastu kancana Bandung

Selamat berani mencipta.
HWS080121