The road

Saya baru tahu ada hari ayah. Itupun karena perbincangan dengan rekan-rekan yang umumnya adalah ayah muda. Saya tidak menuduh bahwa perayaan itu seperti ikut-ikutan, namun tampaknya warga internet tidak begitu peduli dengan asal muasal suatu perayaan, karena lebih penting memajang foto (baik foto diri maupun foto duduk) dengan diberi judul yang hampir sama: Semoga….

Saya teringat dengan novel The Road, karangan Cormac McCarthy (2006) yang juga sudah difilmkan (2009) dengan judul yang sama. Novel ini bercerita tentang perjalanan seorang ayah dan putranya. Tidak bernama. Perihal ibunya hanya sedikit diceritakan: meninggalkan pria dewasa itu dan anaknya. Mereka berjalan pada suatu kota yang tidak diberi nama dan keadaannya begitu hancur dan sepi ditinggalkan penduduknya. Mereka menyusuri kota dan masuk-keluar toko atau rumah yang mungkin menyisakan makanan. Novel ini begitu absurd karena dalam dialog mereka tidak menunjukkan perbedaan tokoh yang bicara. Hampir tidak ada tanda baca selain titik. Mereka mengusir kesepian dan kelaparan itu dengan bercakap-cakap, yang mungkin tujuannya mengulur waktu sampai hari terang tiba dan mereka berjalan lagi.

Mereka duduk berdampingan dan makan sekaleng pir. Lalu mereka makan sekaleng persik. Mereka menjilat sendok-sendok dan menumpahkan ke mangkuk dan minum sirup manis yang lezat dari kaleng itu. Mereka saling memandang.

Satu lagi.

Aku tak mau kau jadi sakit.

Aku takkan sakit.

Kau sudah lama tak makan.

Aku tahu.

Oke.

The Road. Cormac McCarthy

Konon Cormac McCarthy menulis novel itu dilatarbelakangi hubungannya yang mendalam dengan putranya, John – saat penulisan novel itu berusia 11 tahun – dari istri ketiganya, Jennifer. Mungkin ada analisis-atau apalah namanya kajian teori sastra, psikologi dan sebagainya yang membahas buku ini. Tetapi yang saya tangkap adalah betapa pelajaran empati dan harapan adalah modal dasar berharga yang diberikan ayah kepada putranya untuk bertahan hidup. Itulah warisan yang sejati.

Kembali ke soal gambar diatas? apa kaitannya? saya berefleksi bahwa pencarian kehidupan tak ubahnya seperti jalan. Dan di jalan banyak para ayah yang juga sedang bertaruh hidupnya. Saya melihat para pejuang di sekeliling saya yang setiap minggu berjuang pulang ke rumah atas jarak yang begitu jauh. Pergi minggu malam untuk pulang jumat malam -orang mengistilahkan PJKA, namun persepsinya menjadi keliru karena seharusnya pergi dimulai dari rumah-. Termasuk saya sendiri yang beberapa minggu ini menekuni sebagian jalan raya pos Daendels. Saya menghayati kehidupan jalanan sebagai cara bertahan hidup sembari melihat kejutan kecil dalam perjalanan itu.

Pada suatu masa, pastilah ada saat dimana melepas anak untuk menempuh hidup dan cita-citanya. Ada sebuah lagu berbahasa batak oleh seorang ayah kepada putranya, agar memiliki ketabahan karena itulah kunci berharga dalam hidup. Lagu ini berjudul Poda (Amsal/nasihat). Edo Kondologit menyanyikan dengan gaya khasnya, aslinya tidak seperti itu. Tadinya saya mau menyanyikan, tapi saya belum layak mood saya terganggu karena lapar yang sangat.

Saya buru-buru pulang.