Ujian hidup

Baca Kompas tadi sore sebelum pulang, sepertinya saya sudah lama nggak baca koran. Kebanyakan input data inventaris dan nge-zoomba kayaknya. Ternyata hari ini sedang ada UTBK-SBMPTN, cukup panjang singkatannya. Apakah singkatan menjadi singkat dalam peran dan fungsinya ketika mengejanyapun sudah tak singkat lagi waktunya. Sekilas sebuah nama (singkatan) bank swasta menjadi panjang karena harus dieja alih-alih dibaca, yaitu Bank OCBC NISP. Kembali ke singkatan di atas, sebagai generasi terakhir yang memakai singkatan UMPTN, saya rasa sudah mencakup substansi UTBK-SBMPTN di atas. Bedanya sekarang input jawabannya pakai aplikasi di PC, dulu pakai pensil. Hasilnya sama-sama diolah dengan komputer. Perbedaan mendasarnya apa? nyaris tidak ada!

Saya teringat ketika UMPTN pas seperti bulan Juli ini, seingat saya selasa dan rabu. Saya menginap di tempat paman saya, supaya bisa diantar ke lokasi ujian di Politeknik USU Medan. Saat itu kondisi badan saya tidak fit. Flu hebat melanda sejak sebelum ujian. Stamina saya menurun di akhir-akhir karena saya forsir terus bahas soal, namun tak didukung dengan istirahat dan asupan gizi yang cukup. Sayapun tak bisa tidur nyenyak di rumah Paman saya karena sangat dekat dengan jalan raya yang berisik. Anda tahu bagaimana jalanan di Medan. Jangan bandingkan dengan Jakarta atau Bandung. Saya mengikuti UMPTN dari jalur IPA. Hari pertama UMPTN terdiri dari 95 soal, yaitu Matematika Dasar, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Hari kedua terdiri dari 75 soal yaitu Matematika IPA, Kimia, Fisika, Biologi, dan IPA Terpadu. Sebetulnya kunci kelulusan ada di hari pertama, terutama di soal-soal Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Kenapa? karena bahasa adalah budaya. Budaya yang melekat dalam keseharian. Bahasa bila dikenal dalam pendekatan teori dan struktur, akan menjadi ilmu yang sulit, tidak menarik, dan membosankan. Sialnya, guru-guru bahasa saya di SMA, boleh dikatakan membuat saya tidak menyukai bahasa. Jadilah saya menjadi seorang yang tidak mengenal sastra Indonesia atau sastra Inggris dengan gembira. Jika seorang lulusan SMA mengenal bahasa karena pendekatan soal-soal, betapa dangkalnya pemahaman dan kecintaannya terhadap budaya, seperti saya dulu.

Begitu pula dengan pelajaran sains seperti Matematika, Kimia, Fisika, dan Biologi. Sependek ingatan saya, tidak pernah diajarkan dalam bentuk terintegrasi dengan ilmu humaniora, misalnya. Persamaan dengan dua variabel, atau fungsi komposisi tidak diajarkan berelasi dengan kehidupan nyata sebagai manusia. Atau massa sebelum dan sesudah reaksi adalah sama, dikaitkan dengan kekonsistenan yang dapat direfleksikan, misalnya. Dulu saya melihat ilmu sains seperti kotak-kotak tersekat, seperti melihat guru-guru yang dengan berwibawa mengajar tiap subjek pelajaran. Tapi tidak ada wadah untuk mengkorelasikan ilmu itu dengan apik dan mengasyikkan. Alhasil terciptalah siswa pengabdi soal. Tak jarang di kelas (terutama kelas tiga), guru menjelaskan di depan, siswa bahas soal di meja. Sepulang sekolah, ikut bimbingan dan ikut tryout di mana-mana. Jadi tidak heran bisnis bimbingan test masuk perguruan tinggi menjadi bertumbuh. Kalau masuk PTN lewat jalur prestasi, sudah dipastikan saya tidak masuk. Karena prestasi tertinggi saya adalah tidak pernah masuk sepuluh besar ranking.

Yah. Satu pelajaran penting bagi mereka yang UTBK SBMPTN ini. Tidak lulus bukan berarti akhir segalanya. Hidup memang seperti itu, impian dan realita tidak selalu harus bersanding dalam waktu yang sama. Saya tidak lulus di pilihan pertama. Meskipun begitu, saya nyaris menjadi sarjana Teknik Kimia di pilihan kedua.

Lucu-lucu kadang ujian hidup ini.

Comments are closed.