Jurnal Fotopuisi #4 Matahari Terbit dari Takengon

Matahari Terbit dari Takengon

Hangat sinar mentari
mendekap udara yang dingin
Awan berbisik mesra dengan gumpalan
menari-nari dipelupuk mata

Pagi itu tibalah sebuah pesan darimu, kekasih.
Pesanmu adalah nasihat bijak
bagi hidup yang kita aliri
cinta yang dihidupi
batas harapan dan kenyataan
yang harus dikhidmati

Pesanmu menyitir Coelho dari Sang Alkemis;
“jika engkau mendambakan sesuatu, alam semesta bekerjasama membantumu mewujudkannya”
Kekasih, tak ada yang lebih bijak
dari pesan tentang kesabaran
bersitahan dari segala rasa sakit

Sanggup tersenyum sekalipun
dada menahan perih karena kenangan
Kau berkata;
“Mari kita ganti kenangan pahit itu dengan tapak perjalanan hidup yang baru”

Aku ingin percaya.
Sungguh.
Seperti percayaku pada janji matahari
Aku percaya utuh pada janji semesta
Legenda pribadi manusia kan tiba
pada satu titik perhentian

Menuai pelajaran
memenuhi takdir yang digariskan
Mari persenjatai diri kita dengan doa

Tak pernah bosan kau katakan itu padaku

Doa?

Apa itu?

Tuhan dimana?

Mengapa ada penderitaan dan kepedihan dalam sejarah manusia?
Kau tersenyum.
Memelukku dalam pijar kasih
“Dunia adalah pergumulan hidup-menentang arus baik-buruk. Menaklukan diri dalam arus gelombang adalah seni merayakan hidup”

Agar kita tidak lupa
bahwa kita kadang kadang adalah manusia.
Kekasih, apa kabar langit Takengon?
“Ia menyapamu hangat. Ia merindumu”

Angin berdesir mulai berkirim kabar
Kabar rindu.

Mari kita rayakan hidup
23102017

Dian Cahaya
Foto: Helvry

Lokasi: Perjalanan dari Terminal Paya Ilang ke Kampung Asir-asir