Kepada ananda


Semoga Tuhan yang Rahmani memelihara hati dan pikiranmu. Amin.

Nak,
Suatu kali dalam hidupku pernah mengalami masa di mana seminggu setelah Paskah, aku paman dan bibimu tidak pergi ke gereja. Boleh kau buka buku sejarahmu, apa yang terjadi pada tahun 2020 di dunia.
Keadaan tampak baik-baik saja, namun sebetulnya malaikat maut sedang menunggu santapan siangnya. Kami menghadiri persekutuan di layar kaca, dengan ruangan yang lebih besar dari kamar sewaanku di Bandung. Oiyah, aku nanti akan memberikan gambarnya padamu.
Khotbahpun menyerukan agar menjadi duta damai, mengingat murid Yesus yang  ketakutan karena takut dengan Orang Yahudi.
Pertanyaan dalam hati kami sama dengan orang-orang, sampai kapan situasi ini berlangsung? rasa bosan mulai menghinggapi, namun rasa takut jauh lebih mendominasi.

Nak, meski tak mudah, bersyukurlah dalam segala hal, dalam segala keadaan. Kau lihat buku kuning dalam foto itu, itu adalah buku tentang gereja tua di Jakarta. Aku membacanya dalam kerinduan akan persekutuan. Aku mulai mengingat-ingat beberapa kejadian perjamuan kecil setelah kebaktian di HKBP Jalan Jambu, GKI Taman Cibunut, GKI Kebon Jati, GKI Gejayan, GKI Malang, GKI Kranggan. Jika kau suatu saat ke HKBP Takengon, kurasa  kau bukan hanya disapa setelah pulang kebaktian. Tradisi di sana adalah mengundang makan di rumahnya, dilanjutkan dengan mengobrol sampai sore.  Kabar duka menyergap saat jumat agung kemarin, salah seorang drummer GKI Kranggan, Om Kris lebih dulu menghadap Sang Khalik. Ia seorang yang ramah dan hangat, dulu aku  pernah satu tim dengannya, aku merasa kehilangan. Kakaknya, Om Ari telah lebih dulu berpulang, aku ingat saat itu sehabis kebaktian pagi, aku dan Om Ari bercakap-cakap sembari memakan kudapan dan secangkir teh hangat. Terakhir aku mengunjungi Om Ari di rumah sakit, dan setelah itu aku mendengar kabar duka, dan minggu lalu, menyusul adiknya, Om Ari. Sungguh, maut tak mengenal waktu.

Nak,
Meskipun begitu, kau tak boleh kehilangan harapan meski cahayanya hampir surut. Jagalah apinya agar tak padam. Tak mudah memang, apalagi dihimpit dengan beban hidup yang mendesak. Dalam situasi seperti itu, memang tak mudah berdoa. Menyanyilah. Kata Bapa Agustinus, siapa yang menyanyi, berdoa dua kali. Jadi, ketika kau tak dapat berdoa, menyanyilah. Salah satu lagu dari Komunitas Taize yang kusuka, Nada te turbe, mengajarkan kepasrahan dalam jaminan Tuhan, menjadi penguatku.

Nak,
yang mengerikan selama masa pagebluk ini adalah hilangnya rasa kemanusiaan. Betapa banyak orang menjadi tidak waras dengan situasi ini. Orang yang disangka terkena SARS COV menjadi stress dan tertekan bukan hanya karena virusnya, tetapi juga tekanan sosial di sekitarnya. Pengusiran terhadap orang yang terkena covid kudengar sendiri dari keluarga dekat kita, bahkan seperti tak tinggal di Indonesia yang gemah ripah loh jinawi. Pejabat publikpun tampaknya tak punya nurani, mengusir orang yang bukan penduduk wilayahnya, karena hasil test menunjukkan ia terpapar virus keparat itu. Penolakan terhadap jenazah tenaga kesehatan yang hendak dimakamkan, aku tak habis pikir  selama ini pikiran dan hati mereka diisi dengan apa?

Kuingatkan kepadamu, jangan sekali sekali kau menirunya. Gunakan hati dan otakmu dengan bijaksana. Isi kepalamu dengan ilmu dan data. Satu hal kusampaikan padamu, nenekmu meninggal karena tertular penyakit dari prajurit yang dirawatnya. Jadi aku tak heran lagi dengan situasi seperti itu. Bisa kurasakan perasaan anak-anaknya.

Nak,
kusudahi dulu suratku,  jika kau tak mengerti, bacalah kembali seolah aku di depanmu.

Salam.
Ayahmu.