Kontemplasi


Hari ini terasa panjang. Bukan karena hari ini hari Jumat, tetapi karena hari ini jadwal padat. Ada kebaktian khusus buat teman-teman calon pegawai yang sedang mengikuti diklat. Persiapan sudah dilakukan, saya dengan teman-teman sudah berlatih beberapa lagu dan sebagainya, termasuk menyiapkan alat-alat untuk dibawa ke Pusdiklat.

Perjalanan terasa lama. Dengan menumpang mobil kantor (innova), kami berenam dibawa oleh sopir kantor. Selama perjalanan, saya merasa sendiri. Sebab hanya saya yang tidak terlibat percakapan. Saya duduk di tengah, teman duduk di sebelah saya ngobrol dengan teman di depan. Teman yang satunya sedang terima telepon. Sedangkan dua teman yang di belakang, asyik ngobrol berdua.

Posisi saya di dekat jendela sebelah kiri. Mata saya menerawang keluar menyaksikan kendaraan yang berhenti karena macet. Sayup-sayup terdengar suara Afgan di stasiun radio. Yang punya kesibukan sendiri hanya saya dan pak sopir. Satu-satunya indra yang tidak dapat menolak tugasnya adalah telinga. Telinga tidak dapat menutup daun telinga untuk tidak mendengar seperti halnya mata dapat menutup kelopaknya jika tidak ingin melihat. Mau tidak mau saya harus mendengar apa yang mereka obrolkan.

Topik yang dibicarakan sebenarnya tidak ada yang salah. Mungkin saya yang sedang sensitif. Pembicaraan di sebelah saya : “Hey bro, yang dari uni bla..bla…(menyebut uni di negeri kanguru) tidak ikutan yang penugasan bla..bla..bla..kok bisa ya?” Pembicaraan selanjutnya tentang:
“Sebenarnya, gelar yang kita pakai itu pakai apa yah, kok ada yg bilang bla..bla..bla..sementara ada yang bilang bla..bla..bla….”
“Eh sedang ada program S3 loh di bla..bla..bla..kayaknya cuma dua orang yang ke LN, selebihnya DN”
Teman yang yang disebelahnya lagi sedang menerima telepon. Ia berbicara dalam bahasa Inggris, saya tidak tahu apakah itu pacarnya ataukah sedang diwawancara. Sementara di belakang sedang membahas berbagai-bagai beasiswa ini itu.

Saya hanya bermenung. Apakah saya ini di tempat yang tepat? saya teringat dulu ketika memutuskan untuk mendaftar di tempat saya sekarang ini dengan harapan-harapan tertentu. Terbayang sama sekalipun tidak semasa kuliah dulu. Dalam perjalanan, saya mencoba untuk tidak mendengar serta mencoba mengingat bagaimana saya bisa tiba di tempat ini. Saya mempertanyakan kembali kepada diri saya, inikah yang kau harapkan dulu? apakah seperti ini? Saya teringat pada malam sebelumnya, ketika membaca biografi singkat penulis di sampul belakang sebuah buku. Ia seorang sarjana teknik kimia lalu “banting setir” menjadi penulis hingga sekarang, karena ia menemukan dunianya di sana.

Begitulah…saya tidak mau bisa menimpali, ketika topik pembicaraan teman saya adalah pengalaman memasak di negeri sana. Bagi saya, saya pingin cepat-cepat nyampe, dan segera mengerjakan tugas-tugas saya. Persiapan dilakukan. Dengan cepat, kami menyiapkan segala sesuatu buat kebaktian, termasuk berlatih lagu-lagu yang akan dinyanyikan.

Ada rasa haru menyeruak manakala beberapa orang dengan pakaian putih-hitam masuk ke ruangan. Terbayang hampir sepuluh tahun lalu ketika saya memasuki perguruan tinggi dengan kostum seperti itu. Hampir tidak ada beda. Memasuki ruang kebaktian serasa menemukan oase di antara jadwal kegiatan yang padat.  Entah kenapa..saya merasa kebaikan Tuhan sangat luar biasa. Sepuluh tahun Tuhan pelihara. Di tengah keadaan duka dan suka, saya merasa kebaikan Tuhan yang luar biasa. Saya tidak memedulikan lagi kejadian beberapa menit yang lalu. Saya merayakan kebaikan Tuhan di tempat ini.

Saya melihat wajah-wajah yang menceritakan kebaikan Tuhan. Saya sendiri tidak tahu bagaimana saya sepuluh tahun ke depan. Pengalaman menunjukkan bahwa saya dimampukan dan tak patutlah saya merasa tak puas ini itu. Memang ketika saya sadari saya sering meminta banyak kepadaNya, namun saya sadari saya tak mengucap syukur atas apa yang saya dapatkan.

Saya dikasihi. itu saja. Itu cukup.
*Sujud syukur*

 

Comments are closed.