Kreativitas kebangsaan

If you have knowledge, let others light their candles in it.

Margaret Fuller

Guru kesenian sewaktu sma dulu namanya pak Jasmen Maruli Tua Sinaga. Orangnya terlihat santai. Ke sekolah pakai sepatu kets, meski atasannya seragam safari. Meski dalam seminggu hanya 45 menit pada mata pelajaran kesenian, tapi cukup mengasyikkan mendengar kuliahnya yang cukup berbobot. Menurut dia, salah satu kunci keberhasilan untuk bertahan adalah kreatif dan inovatif. Suatu konsep yang rumit bagi anak usia remaja seperti saya pada saat itu. Apalagi tugas-tugasnya cukup unik misalnya menggambar suatu pesan visual yang menceritakan tentang kondisi sekitar yang memiliki makna tertentu. Dengan kemampuan menggambar saya yang mendekati dua tingkat di bawah amatir yang belum training, saya mencoba menggambar harga cabe yang tinggi saat itu.

Beliau sangat ditakuti karena termasuk galak. Ia tidak segan-segan mengatakan “otakmu di taruh…” sembari menunjukkan bokong, untuk melukiskan kadang-kadang jawaban siswa tidak pas atau tepat. Pelajaran Kesenian menjadi pelajaran horror karena siap-siap menerima umpatan seperti itu. Namun, saya salut dengan karyanya. Di sebuah ruangan di sekolah, tersimpan karya-karya beliau, salah satu nya adalah kompor matahari, yaitu dengan sebuah alat dengan desain khusus bisa memanfaatkan cahaya matahari (dengan lensa cembung) mampun menggoreng nasi. Padahal ia seorang guru seni, bukan guru Fisika atau bahkan guru teknik. Selain itu, program yang ia terapkan ke seluruh siswa adalah mengunjungi Museum! bagi saya, itulah perjumpaan saya pertama kali dengan museum selama hidup. Museum milik Pemerintah Provinsi Sumatra Utara di bilangan daerah Stadion Teladan Medan menjadi tempat pertama saya memandangi benda-benda budaya dari masa lalu, walaupun saya saat itu tidak begitu mengerti. Karena itu adalah program pelajaran, mau tidak mau harus ikut. Kalau tidak, siap-siap berhadapan dengan beliau. Siapa yang berani. Mana urusan meski sama-sama Sinaga.

Perjalanan hidup akhirnya membawa saya kepada sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan. Tidak pernah saya membayangkan akan berurusan kembali dengan seni, yang saya anggap dulu sebuah pelajaran yang tidak menyenangkan bahkan sangat tidak saya pilih suatu kegiatan ekstrakurikuler. Inilah yang mungkin saya namakan kesesatan dalam belajar. Seni tidak menjadi “roh” dalam mempelajari sesuatu atau berpraktek sesuatu. Dalam profesi atau bidang saya saat ini, accounting is an art. Bahkan auditing is an art. Meski ada teori-teori yang mendasari, tetapi yang utama adalah manusia itu sendiri yang menciptakan nilai atau keindahan dalam bidang tersebut. Professional judgement adalah sebuah seni ketika memandang suatu persoalan dan dapat diselesaikan dengan cara-cara profesional namun tetap tidak meninggalkan etika dan keindahan.

Sebuah prosiding tentang bagaimana merawat kesatuan kebangsaan dari sebuah instansi yang menyebut dirinya produsen seni. Bahwa dalam kesenian dan nilai Pancasila sebetulnya ada peluang untuk terus merawat kesatuan bangsa yang saat ini sedang rapuh. Persoalan seperti sekarang ini tentang Pandemi Covid-19 seharusnya dipandang dalam bingkai kesenian dan kebudayaan, sehingga tidak lagi melulu soal 3M, PSBB, lockdown, rekomendasi WHO dan sebagainya, Cara pandang itu tidak salah, namun kehidupan berkebangsaan lewat berkesenian dan berkebudayaan tidak boleh diabaikan. Disinilah kita coba “melawan” ketakutan dengan terus berekspresi secara kreatif, tidak kalah dengan keadaan, apalagi kontra- produktif. Perhatikan betapa banyak kelas-kelas daring profesional, kursus daring, virtual choir, apakah ada pesan terhadap betapa berharganya kesatuan itu?

Saya mendapat tautan dari rekan mengenai paper yang sudah dibukukan sebagai wujud perayaan dies natalis instansi tersebut dan sudah saya unggah di drive saya pada tautan berikut. Tulisan dari Dr. Komaruddin Hidayat, Kebudayaan yang Memerdekakakan menjadi pembuka kumpulan paper tersebut.

https://drive.google.com/file/d/1OUvdesrAC1Baf7PhqmwjqsguZGufh8Qm/view?usp=drivesdk – Buku 1

https://drive.google.com/file/d/1OUvdesrAC1Baf7PhqmwjqsguZGufh8Qm/view?usp=drivesdk – Buku 2

Ide yang dulu terungkap di sekolah anak remaja, menjadi kenyataan dalam bentuk tulisan dari para intelektual dan akademisi. Saya berterima kasih pada Bapak Guru saya itu, yang lewat waktu saat ini meneropong kondisi bangsa lewat kekreatifan dan penciptaan keindahan. Saya patut bangga, meski hanya sebagai proof reader pada salah satu tulisan tersebut, adalah bentuk pemaknaan saya pada pemberian kontribusi kreatif kecil saya pada pengetahuan yang harus menyala lilinnya.

seni akhirnya berada di wilayah imajinasi, sekaligus menjadi penyatu semua hal.

Kata pengantar – Tim Editor