Makanan apa atau makan di mana

Sumber: Pikiran Rakyat 5 Maret 2017

Fotografi merupakan satu hobi yang saya gemari tapi tidak saya tekuni. Kenapa? Saya juga bingung, sebab saya ini orangnya sangat moody dalam menekuni sesuatu. Bisa suatu saat bersemangat atas suatu hal baru, namun bisa saja sekali waktu langsung meninggalkannya dalam waktu yang cukup lama. Sebetulnya bicara masalah fotografi, saya orangnya memang cuek dengan aturan main. Bagi saya, bagus tidaknya adalah selera subyektif saya sendiri. Pun ketika mendatangi pameran-pameran fotografi, saya hanya melihat yang saya suka. Memang, setelah saya bandingkan, fotografer ternama terlihat dari jam memotret yang cukup tinggi, hasil fotonya lebih “bercerita”, ada pesan terselubung dalam karyanya.

Membaca artikel di atas, menimbulkan pertanyaan: Pesan apa yang dapat disampaikan oleh foto makanan? Kadang kala saya cukup sinis dengan orang yang suka memposting foto makanan baik di media sosial, seperti facebook, instagram, twitter, atau path (ketauan saya medsosnya banyak juga), kenapa? Saya menilai ah mereka itu mau pamer saja, hahaha. Penilaian yang sempit memang, tapi ada beberapa alasan.

Pertama, biasanya yang dipamerkan bukanlah masakan sendiri, tetapi masakan dari restoran yang cukup ternama atau katakanlah cukup hits. Jadi, secara tidak langsung hal tersebut menunjukkan gaya hidup orang tersebut yang kelasnya ya..seperti itu, bahwa ia makan dengan harga sekian.

Kedua, nama makanannya umumnya beristilah asing. Bukannya anti bahasa asing seperti bahasa Inggris, bahasa Korea, bahasa Jepang, atau bahasa Italia. Namun sepertinya ada perilaku lebih keren bila yang “dipamerkan” adalah masakan bernama asing. Soal rasa, sebentar dulu. Nama dan istilah asing itu penting sepertinya untuk diketahui orang banyak, sehingga menunjukkan di kelas mana ia berkedudukan.

Ketiga, foto makanan dan nama restoran/tempat makannnya. Adanya fitur lokasi pada media sosial seperti facebook, instagram, twitter, atau path semakin mempersubur keinginan para pemfoto makanan melengkapi foto makanannya dengan lokasinya. Dan umumnya, lokasi tersebut sudah tersedia di medsos sehingga nasi goreng gerobak pak Yulianto dan warung makan Bu Imas tak akan pernah ada dalam lokasi pencarian tempat. Mirip dengan point nomor 1. Tempat makanan menunjukkan kelas.

Keempat, bukan bayar sendiri alias ditraktir. Hahaha…ini memang sarkas, tapi kadang kala itu terjadi. Acara perpisahan, syukuran promosi atau naik jabatan memang sarana untuk makan haratis. Dan itu penting. Penting untuk dunia tahu.

Kelima, adanya promosi/diskon khusus. Ini memang jarang, namun hal ini memang tak dapat dipungkiri dimana para pembuat makanan maupun tempat makannya memang memberikan diskon khusus pada pelanggan yang mengunggah di media sosial. Bagi para penikmat makanan sekaligus pelaku medsos, hal-hal seperti ini patut didokumentasikan dan dijaga kesinambungannya.

Jadi, makan di mana kita?

Comments are closed.