Menonton Teater Cahaya Memintas Malam

Awalnya saya bingung dengan isi cerita teater Cahaya Memintas Malam yang dipentaskan di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 15 Februari 2017 lalu, akhirnya liputan pada Kompas hari ini membantu saya (sedikit) lebih memahami bagaimana jalan cerita serta pesan yang dibawakan. Ada beberapa point yang saya dapat:

  1. Bahwa kehidupan yang sulit pada dasarnya merupakan pergumulan yang sama oleh tiap manusia. Di seluruh bagian dunia ini menghadapi sulitnya hidup dengan ceritanya masing-masing. Terlihat pada adegan Jamarun yang frustrasi karena cangkul yang dibelinya tidak mampu menghidupi ia dan keluarganya, demikian juga adegan cerita di belahan benua Asutralia dimana peternak yang juga frustrasi karena peternakannya tidak menghasilkan karena semua ternaknya mati.
  2. Kecenderungan manusia untuk menyalahkan sesuatu di luar diri (dan lingkungannya) atas masalah yang terjadi, dan jika ada orang asing, sebisa mungkin menyalahkan orang asing tersebut, tanpa mau mencari lebih lanjut tentang fakta dan kondisi yang menyebabkannya.
  3. Bahwa makan adalah suatu kegiatan manusiawi. dua daerah dan dua budaya dapat menyatukan perbedaan dalam acara makan. Hal ini terlihat ketika pemain teater dari Bandung dan Australia makan nasi tumpeng bersama. Sangat manusiawi. Namun ketika adegan penghukuman Jamarun, semua berganti peran. Serempak mencari siapa yang salah, meski tadinya semeja makan.

Demikian analisis sederhana saya, berikut liputan wartawan Kompas yang sangat profesional 🙂

---------------------------------
Hikayat Jamarun yang Mengiris-iris

Nawa Tunggal

Jamarun mengail di kali. Suatu ketika, mata kailnya tersangkut sepotong tubuh yang hanyut. Ia menemukan mayat, lalu berteriak-teriak untuk menarik perhatian warga desa. Tiada saksi tiada bukti, Jamarun justru dituduh membunuh orang itu dan ia diganjar hukuman mati….

Layar video untuk latar pementasan teater “Cahaya Memintas Malam”yang mengisahkan hikayat Jamarun sebagai tradisi lisan yang nyaris punah dari Cianjur, Jawa Barat. Teater dipentaskan gabungan La Trobe University Student Theatre and Film dari Melbourne, Australia, bersama komunitas Mainteater Bandung dan Teater Lakon, Selasa (14/2), di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat.
Kompas/Nawa Tunggal (NAW)

Kisah tadi petikan dari hikayat Jamarun dari Cianjur, Jawa Barat. Narasinya menjadi ide utama pementasan teater “Cahaya Memintas Malam (The Light within a Night)”, Selasa (14/2), di Gedung Kebudayaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.

Tujuh pemain pentas ini dari La Trobe University Student Theatre and Film, Melbourne, Australia. Tujuh orang lainnya dari Komunitas Mainteater Bandung dan Teater Lakon UPI.

Sampurasun…. Selamat menikmati pementasan ini. Kami, La Trobe University Student and Film, dari Melbourne…, bukan Sydney…,” ucap Will Robertson, salah satu aktor pementasan dari La Trobe University Student Theatre and Film, ketika memberikan salam pembukaan dengan kocaknya.

Kata “bukan Sydney” ditekankan Will. Itu karena masyarakat di Indonesia, mungkin juga di negara mana pun, lebih mengakrabi kota Sydney ketimbang Melbourne.

Petani miskin

Pentas teater dimulai. Adegan pertama, masuklah Jamarun ke panggung. Langkahnya gontai. Kelesuan memuncak tersirat dari raut muka Jamarun yang muram.

Ia petani miskin yang sedang lesu karena tak sanggup membeli cangkul untuk kembali bekerja menjadi petani penggarap. Istrinya turut prihatin, tetapi berkat keteguhan hati istrinya, sedikit uang yang tersisa direlakan untuk membeli cangkul. Jamarun sangat gembira. Ia menari-nari. Tariannya dengan mengayun-ayunkan cangkul. Langkah kakinya tidak lagi gontai. Raut mukanya tidak lagi muram.

Waktu pun berselang, Jamarun malah buntung. Hasil panenan tidak ada. Petani kere itu kembali murung. Lalu, Jamarun ingin mencari ikan di kali untuk menyambung hidup. Ia berpamitan kepada istrinya untuk mengail di kali. Sampai pada akhir cerita, Jamarun menjalani hukuman mati di tiang gantungan. Itu karena sewaktu mengail ia menemukan mayat. Justru karena itulah, sang petani miskin Jamarun menjadi tertuduh sebagai pembunuh.

Di tang   an sutradara Bob Pavlich dan Sahlan Mujtaba, alur hikayat Jamarun yang tragis kian mengiris-iris hati. Kedua sutradara ini menyisipkan narasi-narasi penting sebagai fenomena sosial yang dipenuhi rasa getir.

Sisipan-sisipan adegan di luar hikayat Jamarun diketengahkan di dalam jeda pergantian plot cerita utama. Di situ terjadi benturan budaya. Ambil contoh, suatu ketika dua pemain teater dari Australia berperan sebagai turis Australia yang berwisata ke Indonesia.

Adegan perbincangan di antara orang Indonesia dengan dua turis tadi kira-kira begini, “Di Indonesia tidak boleh minum bir karena ada alkoholnya.”

“Kami di Australia bebas-bebas meminum bir,” ujar kedua wisatawan tadi dengan lagak menenggak bir dari botol yang digenggam.

Adegan berlanjut. Kedua turis naik mobil yang disetiri orang Indonesia tadi. Mobil yang dikendarai itu oleng ke kiri ke kanan. Tak tahunya, orang Australia yang ngebir, orang Indonesia yang mabuk. Ironis, bukan?

Hikayat Jamarun mengisahkan seorang petani miskin bernama Jamarun, yang menjalani hukuman mati setelah menemukan mayat, dan justeru dialah yang dituduh membunuhnya. Hikayat ini sebagai tradisi lisan yang nyaris punah dari Cianjur, Jawa Barat, dipentaskan dalam teater “Cahaya Memintas Malam” oleh gabungan La Trobe University Student Theatre and Film dari Melbourne, Australia, bersama komunitas Mainteater Bandung dan Teater Lakon, Selasa (14/2), di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat.
Kompas/Nawa Tunggal (NAW)

Sisi ironi lainnya terbangun. Terinspirasi hikayat Jamarun yang tragis terbunuh. Di Australia juga diceritakan ada pembunuhan, tetapi bukan pembunuhan manusia oleh manusia seperti di dalam hikayat Jamarun itu.

Begini kisahnya. Dari Inggris mereka menempuh perjalanan separuh bumi untuk tinggal di Australia. Tak tahunya, hanya untuk menyerahkan bayinya yang dimangsa seekor anjing liar dingo Australia.

Adegan lain, mengurai sindiran dari mereka yang datang dari Australia ke Indonesia. Sindiran ini antara lain tentang masih diterapkannya hukuman mati di Indonesia.

“Di Indonesia banyak serangga (mungkin, yang dimaksud adalah nyamuk yang suka menggigit). Apakah ada hukuman kalau membawa anti serangga?” tanya salah satu pemeran dari Australia. “Dijawab pemeran lainnya, Ada. Hukuman mati!”

Bukan cerita tunggal

Sutradara Sahlan mengatakan, hikayat Jamarun dari Cianjur itu tidak ditampilkan secara tunggal. Sisipan adegan merupakan interupsi, pemaknaan, kritik, dan pertukaran informasi dari masing-masing aktor.

“Mereka memiliki latar budaya berbeda. Rasa keingintahuan, benturan yang sesekali terjadi, kesamaan beberapa hal diharapkan menjadi arena kontemplasi generasi muda sekarang,” kata Sahlan.

Sahlan bersama Teater Lakon pernah meraih prestasi sebagai Sutradara Terbaik dalam Festival Teater Mahasiswa nasional keempat di Jakarta tahun 2004. Sahlan lulus S-1 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia dan lulus S-2 Departemen Ilmu Susastra untuk Kajian Tradisi Lisan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Pementasan teater Cahaya Memintas Malam dengan para aktor dari Indonesia meliputi Chayanda Nurhadi Hasan, Deska Mahardika Putri, Kamil Mubarok, Kenny Fahmi Mulyadi, Maudy Widitya, Nurul Aini Arrahman, dan Tria Hayati Lidnillah.

Para pemain dari Australia meliputi Ashleigh Mcfarland, Blayne Welsh, Gracie Rogers, Lucy Rees, Walter Dyson, dan Will Robertson. Selain dipentaskan di UPI Bandung, teater ini juga akan dipentaskan di Bentara Budaya Bali, 18-19 Februari 2017.

Kemudian juga akan dipentaskan dua kali di Australia, yaitu di Menzies Theatre La Trobe University Bundoora pada 6-8 Maret 2017. Di La Mama Courthouse menjadi bagian dari Asia TOPA atau Asia-Pacific Triennial of Performing Arts di Melbourne pada 15-19 Maret 2017.

Bagi Sahlan, substansi hikayat Jamarun menyoal tata hukum dan peradilan yang tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah. Hukum bagai pedang bermata dua yang sangat tajam dalam menghadapi orang-orang miskin seperti Jamarun. Namun, bermata tumpul bagi para petinggi sosial atau orang-orang kaya.

“Relevansinya sekarang ini, bahkan tidak lagi mengacu hanya pada kedudukan tinggi dan rendahnya masyarakat, tetapi juga mayoritas dan minoritas. Mayoritas menjadi pemilik dan penentu kebenaran tunggal,” ujar Sahlan.

Sebagai tradisi lisan, hikayat Jamarun di Cianjur nyaris punah. Di tangan sutradara Bon Pavlich dan Sahlan, pementasan hikayat Jamarun mengobati ancaman kepikunan budaya. Kelengkapan narasi lepas seperti kritik dan sindiran dari fenomena sosial terkini menjadi ekspresi estetik yang kental makna untuk referensi diri dan refleksi diri.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Februari 2017, di halaman 25 dengan judul “Hikayat Jamarun yang Mengiris-iris”.

Comments are closed.