P4: Apakah suatu pengamalan perlu pedoman?

sumber: Harian Kompas, 2 Juni 2017

Anda yang lahir di tahun-tahun seperti saya, tentu pernah mendengar peristilah Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila. Istilah ini pada zamannya sangat populer. Sampai-sampai dibentuk suatu badan/instansi khusus untuk menangani hal ini, yaitu Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Di kota kelahiran saya, Takengon, dulunya kantor ini di Jalan Yos Sudarso, Takengon, dekat dengan Kantor Bupati Aceh Tengah.
Catatan: sebetulnya saya bertanya-tanya, bagaimana sejarah pemberian nama jalan ini menjadi Yos Sudarso? Sebab pada umumnya nama-nama jalan di Takengon berasal dari nama-nama orang lokal Aceh atau bahasa daerah.

Oke lanjut.

Saya teringat sekitar kelas lima atau enam SD, bersama dengan SD-SD lainnya di Aceh Tengah mengikuti cerdas cermat P4. Saya ingat saat itu lomba diadakan di SD Buntul Kubu (saat ini nggak tahu namanya apa). Bahannya berupa fotokopian tanya-jawab soal-soal P4 itu, saya rasa ada sekitar 500-an soal dan jawabannya (yang harus dihapal). Persiapannya sangat mendadak. Guru saya hanya memberi tahukan agar saya (dan dua teman saya lainnya) ikut mewakili SD saya (SD 8) sekitar seminggu sebelum waktu cerdas cermat. Dari dulu saya memang paling payah dalam hafalan. Alhasil, ketika lomba dilaksanakan, SD kami sudah tumbang di babak penyisihan dengan skor yang saya masih ingat sampai sekarang: 325.
Itu cerita sewaktu SD. Ketika SMP, sebelum dilakukan pelajaran formal, seluruh siswa kelas 1 yang baru, diwajibkan mengikuti penataran P4. Saya masih ingat bukunya warna merah-putih. Tanpa ada ujian. Setelah penataran P4 selesai, barulah dimulai pelajaran formal seperti pelajaran Matematika, bahasa Indonesia, Sejarah, dan sebagainya. Pelajaran formal yang tadinya Pelajaran Moral Pancasila (PMP) berubah nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN).

Lalu ngobrolin P4 dan sebagainya, apa hubungannya?
Akhirnya saya menyadari bahwa ada yang salah dengan pola pendidikan yang saya dapatkan tentang Pancasila. Saya tidak menyalahkan guru-guru saya, tetapi metode mengajar Pancasila sebagaii nilai bangsa yang menjadi nilai dasar kehidupan bangsa tidak terintegrasi dengan pelajaran-pelajaran yang lain. Pendidikan tentang kePancasilaan, tentang berketuhanan, tentang berkemanusiaan, tentang kebersatuan, tentang kerakyatan yang berhikmat, tentang bekeadilan, dikemas dengan cara-cara yang sangat formal, kaku, membosankan. Menurut saya, nilai-nilai Pancasila haruslah dipahami seluruh guru-guru bidang studi, tak hanya guru ilmu sosial, tetapi juga guru-guru ilmu sains, guru agama, guru olahraga. Semuanya (seharusnya) turut memberi contoh dan teladan dalam mempraktikkan nilai Pancasila. Namun yang saya khawatirkan adalah, memang ketiaadaan sistem yang utuh dalam pola pendidikan Pancasila, dan itu berlanjut sampai sekarang.

Saat ini di media sosial, sangat ramai dan masif penggunaan foto profil yang memuat lambang negara dan foto pribadi sebelah-menyebelah, dengan kutipan saya Pancasila, kita Pancasila, dan…Pancasila lainnya. Mengenalkan kembali Pancasila lewat cara ini sangat efektif. Namun, tanpa masuk ke sanubari yang paling dalam, rasanya Pancasila hanya menjadi simbol tanpa makna. Tanpa mendalami makna bahwa saat ini di negeri kita terdapat ancaman terbesar datangnya yang datang dari dalam. Ancaman terhadap keberagaman, ancaman terhadap persatuan. Kalau dulu sulit menemukan contohnya seperti apa, sekarang dengan adanya medsos, kita dapat melihat seperti apa respon atau kondisi bangsa kita terhadap isu keberagaman dan persatuan. Sangat menyedihkan.

Selanjutnya mau apa?
Mumpung masih hangat hari lahirnya Pancasila, mari menghayati kembali nilai-nilai yang ada di dalamnya. Sebetulnya tidak sulit, karena nilai itu adalah cerminan nilai kemanusiaan yang ada dalam diri manusia serta nilai kebangsaan yang sedari dulu kita pelajari. Didik anak-anak kita untuk bekerja keras dan bekerja sama serta menghargai teman-temannya.

Apa yang kita rasakan saat ini adalah cerminan apa yang kita terima masa lalu.
Apa yang anak-anak kita rasakan kelak, adalah cerminan apa yang kita didik sekarang.
Pedoman Pancasila yang hidup ada dalam keteladanan Anda dan saya.

Bandung, 2 Juni 2017.

Comments are closed.