Sudako

Nakku,

Mungkin zaman engkau besar nanti, engkau akan terheran-heran, mobil macam apa ini? Boleh jadi iya, boleh jadi juga tidak. Bahwa akan ada yang membawanya ke museum, supaya menjadi monumen pengingat alat transportasi yang begitu berjasa. Kau seharusnya sempat merasakan suasana di dalamnya seraya menyusuri jalan-jalanku dulu.

Hampir setiap hari, aku selalu menumpang mobil angkutan yang dulu disebut orang: Sudako. Entah dari mana hubungan Sudako dengan merk mobil ini. Sudako singkatan dari Suzuki dalam kota, sedangkan merk mobil ini Daihatsu. Seharusnya Dadako. Tapi ya sudahlah, itu tak penting.

Aku menaikinya dari Terminal Sambu menuju sekolah es em a. Jurusan mobil angkutan No.61 adalah Sambu- Padang Bulan. Dari sambu, bukan hanya No.61, tetapi juga No.57 melewati sekolahku. Di dalamnya paling tidak muat 14 orang ukuran anak sekolah, tetapi itu sangat-sangat jarang terjadi jika berangkat dari sambu. Tetapi bisa jadi kalau pulang sekolah. Biasanya di kaca depan atau kaca dalamnya suka ditempel stiker Bre karona, bre itingna, bre biringna, bre tiganna. Maka dari itu, orang batak karo sebetulnya sangat menjunjung perempuan. Belum lagi begitu diseganinya inang-inang Sambu kala itu. Jangan coba-coba dilawan. Bisa bad mood akut. Mungkin saja, para pegiat feminis kurang jauh mainnya ke Medan. Sehingga, kaca mata yang digunakan kalau nggak Barat, ya Jawa. Tapi sudahlah, kurasa kau googling – Suatu alat pencari berdasarkan yang paling populer, bukan yang esensi.

Posisi dimana yang terfavorit buatku? Pertama di sebelah supir. Dari balik kokpitnya, cakrawala pandangku luas. Mulai jalan surabaya, jalan pemuda, jalan kartini, masuk jalan diponegoro, zainul arifin, dan berhenti di simpang jalan cik ditiro. “Kiri bang!” (dengan melafalkan i dengan e) adalah kata kunci untuk berhenti. Kau bayangkan betapa aku berpaham kiri sewaktu masih muda belia. Sungguh manja anak zaman sekarang, tak begitu mengenal nikmatnya bising knalpot dan merdunya sumpah serapah supir kala ongkos yang diterimanya kurang.

Ketahuilah, dari situ aku menghargai hidup.

Anakku,

Tempat kedua yang paling nyaman bagiku, adalah di bagian paling belakang. Dekat pintu. Aku suka memandang ke belakang, melihat satu-satu apa yang dilewati mobil angkutan sudako ini dari ruang pandangku. Sambil mengkhayal, tentunya. Lega karena pelajaran sekolah sudah selesai. Suatu saat kau akan kuceritakan kenapa.

Sekarang tidurlah. Bermimpi yang indah-indah saja. Aku masih mencoba ingat-ingat jalan dulu.

Peluk.

Ayah.