Visualisasi Puisi: Dalam Doaku

Hari puisi yang jatuh tiap tanggal 26 Juli membuat saya mencoba memposting kembali puisifoto yang pernah saya buat. Namun, setelah menimbang kembali, saya memutuskan untuk memberi judul visualisasi puisi. Kenapa? karena saya ingin menempatkan imajinasi saya akan interpretasi puisi dalam sebuah gambar. Tentu saja tiap orang akan berbeda memaknai keindahan puisi-puisi. Ada yang mengembangkannya dalam bentuk pembacaan, tarian, musikalisasi, dan saya mencoba lewat foto.

Puisi yang saya visualisasikan adalah puisi “Dalam Doaku” karangan Pak Sapardi Djoko Damono. Saya sendiri terkagum dengan puisi karangan beliau karena keindahan pilihan kalimatnya. Pemilihan gambarnya sebenarnya belum lengkap, tetapi saya berjanji akan berupaya memenuhinya. Baiklah, saya salin kembali puisi Dalam Doaku:

DALAM DOAKU

dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman
tak memejamkan mata, yang meluas bening siap
menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara

ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam
doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau
senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan
pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah
dari mana

dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja
yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang
hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga
jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap
di dahan mangga itu

maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun
sangat pelahan dari nun di sana, bersinjingkat di jalan
kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu,
dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di
rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang
dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang
entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi
rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi
kehidupanku

aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai
keselamatanmu

1989

Dari susunan puisi ini, Sapardi mengumpamakan “kau” dalam tiap bagian waktu sehari semalam dalam ungkapan-ungkapan indah. Sapardi mengajak pembaca untuk membayangkan indah dalam pemandangan alam, maupun dalam “sakit” yang indah. Indah dalam pengalaman fisik, maupun dalam pengalaman mental.

Lalu mana foto saya?

Saya baru “berhasil” memvisualisasikan imajinasi saya akan puisi ini pada dua bagian saja, yaitu pada bagian siang dan magrib. Berikut gambar dan bait puisinya
Image

ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam
doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau
senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan
pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah
dari mana

Image

maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun
sangat pelahan dari nun di sana, bersinjingkat di jalan
kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu,
dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di
rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

Yah untuk menghasilkan foto sesuai imajinasi tersebut bukanlah perkara yang gampang. Lama, tetapi mengasyikkan…Pikiran kita bekerja menemukan komposisi gambar yang tepat, sekaligus mengkorelasikan dengan bait-bait puisi yang pernah dibaca atau bahkan dibuat sendiri. Kedepan saya coba posting foto dengan puisi sendiri, sementara saya terus bekerja menemukan ‘jodoh’ puisi Pak Sapardi ini dengan imajinasi yang hadir dalam dunia nyata saya.

Comments are closed.