Gunung Salak dan Pelajaran Melepaskan

Pagi kemarin, dari balkon apartemen, saya berdiri sambil menarik napas panjang masih dengan kepala yang belum sepenuhnya “siap bekerja”. Malam sebelumnya saya baru pulang dari perjalanan yang panjang; panjang dalam hitungan waktu, tetapi juga panjang karena banyak hal yang berputar dalam kepala saya. Tentang bagaimana peran dan eksistensi sebagai manusia kadang memang harus berhenti di titik tertentu, harus selesai, supaya kita bisa melangkah lagi tanpa menunggu semuanya sempurna. Kota di bawah terasa pelan, seolah ikut memberi jeda. Gunung Salak tampak jelas, kokoh, dekat, puncaknya dibungkus awan tipis seperti selimut yang masih tersisa. Langit kelabu, namun cahaya keemasan di timur perlahan menerobos, seperti pesan kecil bahwa hari baru tetap datang.

Cahaya matahari mulai menembus kota
Gunung Salak

Di momen seperti ini saya diingatkan bahwa hidup itu sederhana: simpan yang berharga, lepaskan yang memang bukan milik saya untuk mengendalikan. Tidak semua hal harus dibawa; beberapa cukup dibiarkan larut bersama sisa embun pagi. Saya belajar dari gunung dan dari cahaya yang bersikeras hadir bahwa setiap hari membawa kesempatan baru untuk menata ulang diri. Dan sebelum melangkah lebih jauh, saya harus berkata terima kasih kepada diri sendiri: karena sudah bertahan, sudah pulang, dan masih bersedia memulai hidup baru lagi.

Saya menyadari apa yang dikatakan Marcus Aurelius:
“When you arise in the morning, think of what a precious privilege it is to be alive — to breathe, to think, to enjoy, to love.”
(Ketika kamu bangun di pagi hari, pikirkan betapa berharga hak istimewa untuk hidup — bernapas, berpikir, menikmati, dan mencintai.)

Inilah hak istimewa saya yang patut saya hargai. Selamat melanjutkan perjalanan.