Ruang yang Kadang Kita Lupakan

Hanya sebuah cerita. Jika ada kesamaan tempat, itu benar-benar kebetulan saja.

Aku, Ardan, pernah bertemu seseorang yang entah kenapaselalu mampir begitu saja dalam pikiranku.
Namanya Lira.

Kadang dia muncul tanpa alasan. Tanpa pemicu apa pun.
Seolah ada ruang kecil dalam diriku yang menolak menutup pintu rapat-rapat.

Awalnya kami hanya dua manusia biasa yang saling menyapa:
bertukar kabar, berbagi tawa lewat teks, memberi jeda seperlunya.
Semua terasa ringan, wajar, tidak ada yang perlu dipikirkan terlalu jauh.

Tapi perlahan… jeda itu berubah bentuk.
Balasan yang dulu cepat, berubah menjadi esok harinya.
Percakapan yang dulu hangat, tiba-tiba terasa dingin.
Dan aku tidak tahu siapa yang mulai menciptakan jarak itu.

Lucunya, manusia memang begitu.
Ketika kehilangan kejelasan, kita malah sibuk mengisi kekosongan dengan asumsi yang kita rangkai sendiri.

Aku merasa dilupakan.
Tidak dibutuhkan.
Disisihkan.

Belakangan baru aku tahu
Lira sedang bergulat dengan hidupnya sendiri.
Merawat apa yang harus ia jaga.
Membereskan kekacauan yang tidak pernah ia rencanakan.

Dan aku?
Aku terlalu sibuk membaca perubahan sebagai penolakan, bukannya sebagai kebutuhan seseorang untuk diam.

Suatu malam, kami kembali berbincang.
Bukan tentang kesalahan atau pembenaran.
Bukan tentang masa depan atau masa lalu.

Hanya tentang perasaan yang sempat tenggelam.

“Aku merasa ditinggalkan,” kataku perlahan.
Tanpa tuntutan.
Tanpa nada menyalahkan.
Aku hanya ingin didengar.

Lira menunduk, lama.
Lalu suaranya keluar seperti sesuatu yang ia simpan terlalu lama.

“Aku salah waktu itu, Ardan… aku takut bercerita.”

Dan di momen kecil itulah aku menangkap sesuatu yang sejak dulu harusnya bisa kupahami:
setiap orang punya lukanya sendiri.
Punya caranya sendiri bertahan.
Punya alasannya untuk menjauh tanpa menjelaskan panjang lebar.

Yang terlihat seperti tidak peduli, mungkin sebenarnya *sedang penuh beban.
Yang terlihat seperti melupakan, mungkin sebenarnya *sedang menata ulang hidupnya.
Yang terlihat seperti egois, mungkin sebenarnya tidak tahu harus mulai bicara dari mana.

Empati… ternyata bukan tentang memahami tindakan seseorang,
tapi mengerti mengapa dia melakukannya, bahkan ketika kalimatnya tak pernah lengkap.

Malam itu, nada percakapan kami pelan-pelan berubah.

Tidak ada lagi defensif.
Tidak ada lagi saling menduga.
Hanya dua manusia yang akhirnya berani mengakui bahwa mereka sama-sama pernah salah membaca situasi—
sama-sama pernah memasuki ruang yang sama, tapi tidak tahu bagaimana keluar dengan baik.

“Aku takut salah lagi,” katanya.
Dan baru malam itu aku benar-benar mendengarnya.
Bukan sekadar kata-katanya, tapi getaran yang lahir dari sesuatu yang jujur.

Aku menghela napas, lalu menjawab,
“Aku memahami perasaanmu. Ruangmu. Batasmu. Yang penting kita sama-sama bisa melihat dari sisi masing-masing.”

Bukan untuk melanjutkan apa pun.
Bukan untuk menghentikan.
Bukan untuk menggantung.

Hanya untuk mengerti.
Dan kadang, itu saja sudah cukup.

Empati bukan kemampuan membaca pikiran.
Bukan kewajiban untuk selalu mengerti tanpa penjelasan.
Empati adalah kesediaan melihat luka orang lain tanpa membandingkan dengan luka kita sendiri.

Ada masa ketika kita merasa ditolak—padahal seseorang sedang berjuang.
Ada masa ketika kita merasa dilupakan—padahal dia sedang mencari dirinya sendiri.
Ada masa ketika kita merasa disisihkan—padahal dia sedang melindungi sesuatu yang lebih besar dari dirinya.

Setelah percakapan itu, aku duduk lama di sebuah bangku kayu di sudut Taman Langsat, tempat yang sering kupilih ketika ingin merapikan isi kepala. Cahaya sore merambat pelan di antara pepohonan, dan angin membawa suara anak-anak yang tertawa dari jauh. Di tempat tenang seperti ini, semuanya terasa lebih jujur—termasuk diriku sendiri.

Aku memikirkan Lira.
Bukan tentang apa yang pernah terjadi, tapi tentang apa yang membuatku mengerti.

Bahwa tidak semua keheningan berarti penolakan.
Bahwa jarak bukan selalu tanda hilang minat.
Kadang seseorang hanya sedang bertahan, menata ulang hidupnya, mencari dirinya di tengah riuh dunia.

Dari dia, aku belajar bahwa rasa terluka tidak harus melahirkan kemarahan.
Ada kalanya yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk berkata,
“Aku sedih,”
dan kesediaan untuk mendengar seseorang berkata,
“Aku juga tidak baik-baik saja.”

Dan di sudut taman itu, aku akhirnya memahami:
empati bukan soal membenarkan tindakan orang lain,
tapi tentang menerima bahwa setiap orang punya kisah yang tidak selalu mereka sanggup jelaskan.

Jika suatu hari langkah kami tidak lagi sejajar,
maka itu bukan penanda gagal.
Justru sebaliknya—ada ruang dalam diriku yang kini lebih lapang,
lebih sabar,
lebih mengerti.

Lira mungkin tidak pernah tahu sepenuhnya,
tapi aku berterima kasih padanya.
Karena dari pertemuan di sebuah kafe kecil dekat M Bloc dan percakapan-percakapan yang menyambung putus di sepanjang waktu,
aku belajar bahwa memahami seseorang bukan soal mendekat,
tapi soal memberi tempat.

Sore itu, di Taman Langsat yang semakin lengang,
aku merasa lebih damai.
Seolah dunia memberikan jeda kecil bagiku untuk bernapas.

Aku, Ardan, akhirnya bisa menutup cerita ini dengan tenang
tanpa penyesalan, tanpa tuntutan
hanya dengan rasa syukur
karena aku pernah memasuki ruang yang membuatku menjadi manusia
yang sedikit lebih berempati dari sebelumnya.

Kaliurang, 20 November 2025