Slari Coffee: Tempat Menemukan Ketenangan dan Pengetahuan

Featured Post Image - Slari Coffee: Tempat Menemukan Ketenangan dan Pengetahuan

Saya adalah seorang pekerja di perusahaan negara. Sehari-hari, waktu saya banyak tersita untuk pekerjaan, rapat, target, dan segala aktivitas lainnya. Namun, di sela-sela rutinitas itu, saya selalu berusaha menyediakan waktu — meski hanya sebentar — untuk sesekali mencari ketenangan, salah satunya duduk tenang di sudut Slari Coffee and Book di Kota Solo ini.

Mengapa?
Karena saya percaya, pengetahuan membentuk siapa kita sebenarnya, bukan sekadar apa yang orang lihat dari kita. Membangun intelektualitas bukan sekadar tuntutan pekerjaan, melainkan juga kebutuhan pribadi, sebagai manusia yang ingin terus tumbuh, sebagai warga negara yang mencintai bangsanya, dan sebagai bagian dari generasi yang bertanggung jawab menjaga api literasi tetap menyala.

Di tengah gempuran media sosial, yang tanpa sadar mencuri begitu banyak jam dari hidup kita, menggulir layar tanpa arah, lemembaca sebuah buku seolah menjadi aktivitas asing, suatu perlawanan kecil atas kegiatan scrolling. Padahal, justru dari lembar demi lembar buku kita berlatih berpikir jernih, belajar merenung, belajar memahami sejarah, belajar menjadi manusia yang utuh, menguji nalar, mengasah rasa dan memperluas cakrawala sudut pandang. Membaca mengajarkan kita berpikir sebelum berbicara, memahami sebelum menilai, dan merasa sebelum menghakimi.

Slari Coffee and Book bukanlah kafe buku yang populer. Tidak ramai. Tidak viral. Tapi justru di sini saya menemukan keheningan yang produktif. Tempat di mana buku-buku dengan tema sejarah, sosial, dan budaya Indonesia tersaji bagi siapa saja yang mau mengisi pikirannya.

Salah satu buku yang menemani saya hari ini:
“Batavia in Nineteenth Century Photographs” karya Scott Merrillees.

Buku ini bukan sekadar kumpulan foto-foto lama. Ia adalah potret perjalanan sejarah kota Batavia — cikal bakal Jakarta — yang terekam dari lensa-lensa fotografer abad ke-19. Scott Merrillees dengan sangat rapi menyusun ratusan foto hasil dokumentasi fotografer Belanda, Jerman, dan Tionghoa yang pada masa itu mengabadikan sudut-sudut kota Jakarta yang mungkin kini sudah berubah total, atau bahkan menghilang.

Dalam lembar demi lembar buku ini, saya seakan berjalan di jalanan Molenvliet yang dulunya menjadi pusat bisnis kota, menyusuri Kali Ciliwung yang dulu dipenuhi perahu-perahu dagang, dan menyaksikan keramaian Pasar Baru dengan nuansa arsitektur kolonialnya. Saya juga melihat bagaimana Gedung Harmonie, Stadhuis (kini Museum Fatahillah), Pelabuhan Sunda Kelapa, hingga kawasan elit Rijswijk (sekarang sekitar Gambir) menjadi saksi dinamika ekonomi dan sosial Batavia saat itu.

Tidak hanya foto-foto gedung megah kolonial, buku ini juga merekam sisi lain kehidupan masyarakatnya: dari anak-anak kecil yang bermain di pinggir sungai, penjual di pasar tradisional, hingga kereta kuda yang melintas di jalanan tanah. Semua gambaran itu memperlihatkan kontras antara kemewahan pemerintahan kolonial dengan kehidupan rakyat pribumi yang sederhana, namun tetap hidup dalam denyut kotanya.

Scott Merrillees bukan hanya menampilkan foto-foto hitam putih itu secara visual, tapi juga melengkapinya dengan narasi penjelasan yang kaya data sejarah. Melalui foto-foto itu, saya seperti diajak berjalan-jalan menyusuri pasar, pelabuhan, jalan-jalan utama, bangunan kolonial, hingga suasana kehidupan sosial di Batavia masa lampau.
Setiap foto membawa narasi: tentang bagaimana kota ini tumbuh, bagaimana keragaman etnis terjalin, tentang penjajahan dan geliat modernitas yang mulai muncul di Nusantara.

Membaca buku ini seperti membuka album tua, tetapi setiap foto yang kita lihat memancing renungan: bagaimana kota ini tumbuh, bagaimana warisan masa lalu membentuk identitas kita hari ini, dan bagaimana kita — generasi sekarang — seharusnya tetap menghargai sejarah sebagai bagian penting dari proses menjadi bangsa yang besar.

Membaca buku ini di sudut Slari Coffee and Book, ditemani secangkir kopi, rasanya seperti duduk berdampingan dengan sejarah itu sendiri.

Karena pada akhirnya, mencintai buku, membaca sejarah, dan terus menambah wawasan adalah bagian kecil dari upaya kita mencintai bangsa ini. Menjadi pribadi yang terdidik, menjaga warisan pengetahuan dan bagian dari generasi yang tidak melupakan masa lalu untuk menata masa depan.

Sekali lagi, meluangkan waktu untuk membaca bukan soal seberapa banyak buku yang selesai dibaca, tapi seberapa dalam kita  mengasah pikiran dan memperkaya jiwa. Karena membaca adalah salah satu cara paling sederhana namun bermakna untuk mencintai diri, mencintai ilmu, mencintai kebijaksanaan.

Mari mampir ke Slari.

Temukan secangkir kopi, temukan pembicaraan yang hangat. Temukan diri yang terus bertumbuh.
Bukan sekadar ngopi, tapi juga mengisi jiwa.

Solo, 12 Juni 2025

#SlariCoffeeAndBook
#LiterasiAdalahGiziIntelektual
#BacaBukanHanyaUntukKerja
#MembangunBangsaDenganBuku
#ScottMerrillees #Batavia
#CintaBukuCintaBangsa