12 Tahun di Balai Yasa: Waktu, Perjalanan, dan Kebijaksanaan

Waktu yang Terasa Melaju Begitu Cepat

Waktu.
Ia selalu berjalan.
Kadang kita merasa lambat, kadang terasa melesat. Namun ketika menoleh ke belakang, kita baru sadar: sudah sejauh ini kita melangkah. Hari ini, di pertengahan tahun 2025, tepatnya di bulan Juni — kita sudah memasuki paruh kedua tahun ini. Rasanya baru kemarin 2025 dimulai, dan kini sudah setengah jalan.

Saat menulis catatan ini, saya mencoba mengembalikan ingatan saya ke masa yang cukup jauh. Waktu seolah berlari, melewati hari demi hari tanpa jeda. Ketika saya menulis catatan ini, saya tertegun menyadari bahwa tahun ini bukan saja sekadar angka baru, melainkan sebuah penanda perjalanan pribadi: dua belas tahun sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di Balai Yasa Yogyakarta, sekitar pertengahan 2013.

Waktu sungguh bergerak dalam diam. Seperti kata Heraclitus:

“Πάντα ῥεῖ καὶ οὐδὲν μένει”
Panta rhei kai ouden menei
“Segalanya mengalir dan tidak ada yang tetap.”

Dicemplungkan Tanpa Induksi

Ada satu pola yang nyaris menjadi pakem dalam perjalanan saya: dicemplungkan begitu saja ke dalam medan baru. Begitu juga ketika saya pertama kali diberangkatkan ke Yogyakarta, pertengahan 2013.

Tak ada briefing panjang, tak ada program induksi seperti yang biasa dinikmati oleh banyak karyawan baru di perusahaan-perusahaan modern. Saya berangkat terakhir, menyusul tim audit yang sudah lebih dahulu tiba di Balai Yasa. Begitu sampai, hari itu juga langsung masuk ke medan tugas — menelisik data, mewawancarai, memahami proses yang sebelumnya sama sekali asing. Tidak ada masa transisi. Langsung saja masuk ke arus derasnya.

Sebagian orang mungkin menyebutnya dilempar ke “zona ketidaknyamanan”. Tapi dalam perenungan saya hari ini, itu semua justru menjadi bagian dari proses pembentukan diri. Seperti konsep areté dalam filsafat Yunani yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles:

Areté bukan sekadar “keunggulan”, melainkan sebuah potensi manusia untuk berkembang menuju bentuk terbaiknya, melalui ujian, pengalaman, dan pergumulan.

Ketika tidak ada induksi, maka satu-satunya jalan belajar adalah belajar langsung dari realitas. Melihat, mendengar, mencoba, bahkan kadang meraba-raba dalam ketidakpastian. Di tengah kebingungan awal, saya mulai belajar mengurai istilah-istilah teknis yang asing, mencoba memahami kultur kerja di bengkel lokomotif, dan yang paling penting: belajar untuk cepat menyesuaikan diri.

Tak bisa dipungkiri, ada juga sisi kejutannya. Kalau di tempat kerja sebelumnya, setiap penugasan luar kota nyaris selalu berarti menginap di hotel representatif, makan di restoran, dan fasilitas transportasi yang disiapkan. Maka di Yogyakarta kala itu, semua menjadi serba mandiri. Penginapan? Tidak ada. Untung paman saya membuka pintu rumahnya di Sleman. Transportasi? Saya sewa motor untuk mobilitas harian, bahkan kadang naik angkot dan ojek, menyusuri jalanan Yogyakarta yang saat itu masih terasa asing.

Saya meniti karir seperti seorang petualang pemula: sederhana, hemat, tapi penuh semangat. Tidak banyak mengeluh, karena saya tahu bahwa setiap langkah kecil itulah yang menjadi bagian dari proses pembentukan diri. Bahkan ketidaknyamanan itu sesungguhnya menjadi pembimbing diam-diam yang menempa ketahanan mental, kemandirian, dan fleksibilitas saya.

Kini, setelah lebih dari satu dekade berlalu, saya memahami makna dari pengalaman “dicemplungkan” itu. Dalam filsafat Stoik, Seneca pernah mengatakan:

“Difficulties strengthen the mind, as labor does the body.”
Kesulitan justru membangun daya tahan. Bila saat itu saya diberi jalan yang terlalu nyaman, mungkin saya tak pernah belajar sebaik saat harus mencari jalan sendiri.

Maka kini, saya menyadari:
Momen saat saya datang tanpa induksi itulah sesungguhnya yang mengajarkan pondasi adaptasi, rasa syukur, sekaligus membentuk mentalitas “siap ditempa kapan pun”.

Beradaptasi dalam kondisi seperti itu bukanlah hal mudah, namun justru di situ saya belajar tentang seni ketahanan diri. Kehidupan tak selalu menyediakan jalan yang nyaman. Dalam filsafat Stoa, Marcus Aurelius mengajarkan:

“The impediment to action advances action. What stands in the way becomes the way.”
“Rintangan pada tindakan justru memajukan tindakan. Apa yang menghalangi jalan justru menjadi jalannya.”

Belajar Bahasa Baru di Dunia Baru

Setiap tempat kerja, setiap dunia profesi, selalu memiliki bahasanya sendiri. Demikian pula saat saya pertama kali menjejakkan kaki di Balai Yasa Yogyakarta, dunia yang sepenuhnya baru bagi saya. Di luar ekspektasi saya, ternyata pekerjaan audit bukan sekadar memeriksa angka atau dokumen administrasi, tetapi juga menyelami semesta istilah-istilah teknis yang nyaris terasa seperti bahasa asing.

Saya mulai diperkenalkan pada singkatan dan kode-kode misterius: G43, G215, NPD, MPPL. Awalnya, semua terdengar absurd. Apa itu G43? Apa bedanya dengan G215? Mengapa ada MPPL? Perlahan-lahan saya mulai mengurai maknanya:

  • G43 — kode untuk perjalanan dinas,
  • G215 — pertanggungjawaban uang muka,
  • NPD — permohonan persetujuan anggaran,
  • MPPL — masa kontrak pengadaan.

Kode-kode itu bukan sekadar administrasi, melainkan bahasa sistem yang merangkum aktivitas perusahaan dalam wujud formulir dan prosedur yang rigid. Setiap kode membawa konsekuensi administratif, pertanggungjawaban, dan alur proses yang harus diikuti secara cermat.

Namun di balik dokumen-dokumen itu, dunia Balai Yasa membuka cakrawala yang jauh lebih dalam: istilah teknis perawatan lokomotif. Saya mulai mengenal apa itu los rangka atas, los rangka bawah, los logam, los final assembly. Setiap los adalah ruang kerja tersendiri, yang membedah bagian-bagian lokomotif secara parsial sebelum dirakit kembali menjadi satu kesatuan. Istilah seperti bogie, crankshaft, traction motor, radiator cooling system mulai akrab di telinga saya, meski di awal terasa seperti kuliah teknik mesin kilat.

Saya seperti belajar bahasa baru di dunia yang seluruh grammar-nya berbeda. Bila sebelumnya dunia saya adalah akuntansi, regulasi, dan administrasi keuangan, maka kini dunia saya dipenuhi bau oli, gemuruh mesin, percikan las, dan dinamika pekerja workshop yang penuh keringat. Tidak ada ruang nyaman untuk sekadar “tahu teori”. Saya harus belajar cepat karena interaksi harian dengan teknisi, supervisor, hingga kepala bengkel menuntut saya paham minimal konteks besar yang sedang mereka kerjakan.

Dalam filsafat bahasa Wittgenstein, ia pernah mengatakan:

“The limits of my language mean the limits of my world.”
Batas bahasa saya, membatasi dunia yang dapat saya pahami.

Saya sepenuhnya merasakan kebenaran kalimat itu. Awalnya, saya hanya berdiri di pinggir percakapan, sekadar mencatat istilah yang terdengar aneh. Namun perlahan, ketika saya mulai menguasai “bahasa mereka”, saya seperti membuka kunci untuk memasuki semesta Balai Yasa secara utuh. Saya bisa mengikuti diskusi, memahami problem perawatan, bahkan melihat bagaimana prosedur administrasi berkelindan erat dengan dinamika teknis di lapangan.

Pada akhirnya, belajar bahasa baru itu bukan sekadar soal kosa kata, tapi proses pembentukan cara berpikir baru. Saya belajar menghubungkan data administratif dengan realitas teknis, memahami bagaimana angka-angka di laporan keuangan bersumber dari pergerakan nyata di lantai workshop.

Kini, dalam refleksi saya hari ini, proses learning by immersion di Balai Yasa itulah yang menjadi pembelajaran paling berharga. Bahasa baru itu melatih saya untuk:

  • Berpikir lintas disiplin,
  • Merendahkan ego untuk belajar dari para praktisi,
  • Dan menumbuhkan intellectual humility — kerendahan hati intelektual — sebuah prinsip filsafat Stoa yang pernah diucapkan oleh Marcus Aurelius:

“The first step towards wisdom is knowing that you know nothing.”

Saya memulai sebagai seorang awam, tetapi justru dari titik ketidaktahuan itulah ruang belajar saya menjadi tak terbatas.

Bertemu Sosok Lama yang Baru Berkenalan

Di tengah perjalanan saya menyusuri Balai Yasa Yogyakarta di tahun 2025 ini, saya ditemani oleh Mas Arif — leader cleaning service yang sehari-hari bertugas menjaga kebersihan area los. Di sela-sela langkah kami menelusuri lorong-lorong yang dipenuhi rangka lokomotif, kami bercakap-cakap. Hingga satu momen membuat saya terdiam sejenak:
“Saya di sini sejak 2011, Mas,” kata Mas Arif dengan nada ringan.

Saya terperangah. Tahun 2011 artinya dua tahun sebelum saya pertama kali bertugas di sini. Di tengah riuhnya Balai Yasa pada 2013, kami sebenarnya pernah berbagi ruang dan waktu yang sama — namun tak pernah saling mengenal, tak pernah bertegur sapa, bahkan mungkin tak pernah saling menyadari keberadaan masing-masing.

Saat itulah muncul perenungan saya tentang bagaimana kehidupan sering kali mempertemukan manusia dalam irisan waktu yang ganjil. Kita pernah berjalan berdampingan di garis waktu yang sama, namun baru berkenalan bertahun-tahun kemudian. Filosof Yunani, Heraclitus, pernah mengatakan:

“No man ever steps in the same river twice, for it’s not the same river and he’s not the same man.”
(“Tak seorang pun melangkah ke sungai yang sama dua kali, karena sungainya sudah berubah, dan ia pun telah berubah.”)

Begitu pula kami. Balai Yasa tetap di tempatnya, tetapi kami berdua telah melangkah melalui sungai waktu yang masing-masing membawa arus cerita, pengalaman, dan pertumbuhan. Mungkin memang belum waktunya bagi kami untuk saling mengenal di tahun 2013. Namun ketika waktu memutar siklusnya di 2025, semesta seolah mempertemukan kami kembali, di momen yang berbeda, dengan peran dan pemahaman yang berbeda pula.

Dari Mas Arif, saya justru belajar hal-hal praktis yang sebelumnya tidak pernah saya ketahui — bagaimana timnya membersihkan lantai los yang dipenuhi oli menggunakan serbuk kayu. Metode sederhana yang hemat biaya, ramah lingkungan, meski membutuhkan kerja ekstra untuk membersihkannya kembali. Solusi yang lahir dari kearifan praktis pekerja lapangan, bukan dari teori di ruang kelas. Pengetahuan tak selalu lahir dari ruang rapat, kadang justru dari ruang los yang penuh debu, oli, dan serbuk kayu.

Di sinilah saya belajar satu pelajaran berharga:
Seringkali kebijaksanaan tidak lahir dari posisi jabatan, tetapi dari phronesis — kebijaksanaan praktis, seperti yang diajarkan oleh Aristoteles.

Phronesis adalah kebijaksanaan yang diperoleh dari pengalaman nyata, dari pengulangan kerja harian, dari pengamatan terhadap situasi-situasi kecil yang terus berlangsung.

Saya, yang datang sebagai auditor, kini belajar dari seorang leader cleaning service. Posisi formal tidak menghalangi arus pengetahuan yang mengalir dari siapa saja, asalkan hati kita mau membuka diri.

Kadang hidup menyajikan ironi yang indah:
Kita mungkin pernah berjalan di bawah atap yang sama, menghirup udara pabrik yang sama, melewati lorong yang sama — tapi baru pada waktu yang telah ditentukan, kita dipertemukan untuk belajar sesuatu yang sebelumnya tersembunyi.

Dan saya merasa, pertemuan saya dengan Mas Arif bukanlah sekadar kebetulan teknis, melainkan bagian kecil dari takdir perjumpaan yang dikemas oleh semesta untuk memperkaya perjalanan batin saya.

Monumen, Penanda Waktu yang Bergulir

Monumen Motive Power itu berdiri kokoh, seperti tidak terpengaruh waktu. Patung seorang pekerja yang sedang mendorong roda lokomotif, menjadi simbol kekuatan, ketekunan, dan kesinambungan kerja keras manusia di Balai Yasa. Bagi banyak orang, mungkin itu hanyalah ornamen. Tapi bagi saya, ia lebih dari sekadar tugu. Ia adalah saksi bisu perjalanan waktu yang tidak pernah berhenti berputar.

Dua belas tahun yang lalu, saya pernah berdiri di depan monumen yang sama, sebagai seorang auditor muda yang baru saja “dicemplungkan” ke dunia yang sepenuhnya baru baginya. Masih hijau, penuh rasa penasaran, bercampur kecemasan. Kini, saya berdiri lagi di tempat yang sama. Orang-orang di sekitar saya mungkin berbeda, tugas saya pun sudah bergeser, tetapi monumen itu masih sama — setia pada tugasnya: menjadi penanda perjalanan banyak manusia yang datang dan pergi.

Monumen ini, bagi saya, mengingatkan akan konsep Chronos dan Kairos dalam filsafat Yunani Kuno.

  • Chronos melambangkan waktu yang linear, waktu yang diukur oleh jam, kalender, dan hitungan tahun: 2013, 2018, 2023, hingga kini 2025.
  • Sedangkan Kairos adalah waktu yang berkualitas, momen-momen krusial dalam hidup yang memberi makna dan mengubah kita.

Saat saya berdiri di depan monumen itu, saya menyadari: 12 tahun yang bergulir itu adalah Chronos, tetapi hari-hari pertama di 2013, momen ketika menyaksikan CC206 dirakit, hingga perjalanan hari ini kembali meninjau CC206 yang sedang diperbaiki, adalah Kairos. Ia adalah titik-titik yang membentuk siapa diri saya hari ini.

Monumen itu juga seperti mengingatkan pada pemikiran filsuf Stoik, Epictetus:
“It’s not what happens to you, but how you react to it that matters.”
Monumen Motive Power menggambarkan bagaimana manusia tidak melawan beban roda kehidupan, tetapi mendorongnya — menerima, mengelola, dan terus melangkah maju meski berat.

Saya memandang roda besar yang didorong sang pekerja pada monumen itu. Roda itu seolah mewakili The Wheel of Fortune (Rota Fortunae) yang sering disebut dalam filsafat klasik, simbol bahwa hidup manusia terus berputar — kadang di atas, kadang di bawah — namun semua bagian roda itu adalah bagian dari perjalanan yang utuh. Tidak ada yang sia-sia. Bahkan perjuangan yang tampak kecil di awal karir saya dahulu, kini menjadi bagian penting dari fondasi perjalanan saya.

Dan kini, di hadapan monumen itu, saya seakan meneguhkan diri lagi: roda hidup terus berputar, dan tugas kita hanyalah mendorongnya dengan sepenuh daya, setia pada prosesnya, serta belajar mencintai segala fase yang kita lalui.

“Seperti roda lokomotif yang terus berputar, hidup pun demikian: tak bisa kita hentikan, tapi bisa kita iringi dengan keteguhan hati.”

Permenungan 12 Tahun — Refleksi dan Jeda Waktu

Waktu adalah arsitek yang senyap. Ia membangun jembatan-jembatan yang tak kita sadari, merajut cerita demi cerita dalam diam, sampai suatu saat kita menoleh ke belakang dan tersadar: sudah sejauh ini perjalanan kita.

Ketika saya kembali menjejakkan kaki ke Balai Yasa Yogyakarta di bulan Juni 2025 ini, rasa-rasanya seperti membuka kembali babak lama yang sudah lama saya tinggalkan. Sebelas—hampir dua belas—tahun berselang sejak pertama kali saya datang sebagai auditor muda, yang kala itu masih banyak menebak-nebak dan belajar dari nol.

Balai Yasa masih berdiri kokoh. Deretan los perawatan masih dipenuhi lokomotif-lokomotif yang menunggu disentuh oleh tangan-tangan terampil para mekanik. Hanya saja kini ada pemandangan yang membuat hati saya getir — lokomotif CC206 yang dulu saya saksikan perakitannya pada 2013, kini sedang menjalani perawatan akibat benturan keras di lintasan. Ada pula bangkai CC201, korban tabrakan KA Turangga dengan KA Bandung Raya pada awal 2024. Di sampingnya, topi masinis yang gugur diletakkan di atas kepala kereta yang telah cacat. Sebuah monumen kecil nan sunyi, pengingat akan rentannya hidup di tengah perputaran roda besi ini.

Saat saya berdiri di sana, muncul pertanyaan reflektif dalam benak:
Sudah sejauh apa saya berjalan?
Sudah sebesar apa diri saya tumbuh?

Saya teringat ungkapan Kronos dan Kairos dalam filsafat Yunani Kuno.

  • Kronos adalah waktu yang kuantitatif, penanda tahun yang terus bergerak maju: 2013, 2018, 2023, dan kini 2025.
  • Kairos adalah waktu kualitatif — momen-momen krusial yang membentuk pribadi kita secara mendalam.

Dalam 12 tahun ini, saya bukan hanya melewati Kronos, tetapi juga mengalami banyak Kairos — momen pengambilan keputusan penting, kegelisahan menghadapi ketidakpastian, keberanian memulai hal baru, hingga belajar menerima apa yang tak bisa dikendalikan.

Saya bersyukur, sebab setiap fase perjalanan selalu hadir beriring dengan pergumulan. Dulu, saat saya “dicemplungkan” ke Yogyakarta, saya harus bergulat dengan keterbatasan fasilitas, minimnya induksi, dan tuntutan untuk cepat menyesuaikan diri. Kini pun, pergumulan tetap ada — hanya bentuknya yang berubah. Bukan lagi soal bagaimana menyesuaikan diri sebagai seorang pemula, tetapi bagaimana memikul tanggung jawab yang lebih besar, memahami kompleksitas organisasi, memimpin, serta tetap menjaga integritas dalam menghadapi godaan dan tantangan zaman.

Saya belajar satu prinsip penting dari Epictetus, salah satu filsuf Stoa:

“Don’t seek for everything to happen as you wish it would, but rather wish that everything happens as it actually will — then your life will flow well.”
Jangan memaksa hidup berjalan sesuai kehendak kita. Terimalah alur yang terjadi, sebab di situlah letak keseimbangan batin.

Di Balai Yasa ini, seakan semua episode hidup saya terkumpul dalam satu ruang kesadaran:

  • Dari masa menjadi auditor pemula,
  • Masa-masa penuh adaptasi,
  • Bertemu rekan-rekan lama maupun baru,
  • Menyaksikan kisah keberhasilan dan tragedi di lintasan kereta api,
  • Hingga hari ini, kembali hadir bukan lagi sebagai auditor, tetapi dalam peran yang sangat berbeda.

Saya pun menyadari satu hal: perjalanan ini belum usai. 12 tahun ini hanyalah sebuah segmen dari jalan panjang yang masih terus terbentang.

Lalu, Apa Cerita Selanjutnya?

Saya tak tahu secara persis. Namun kini saya menatap ke depan dengan pemahaman yang lebih dalam:
bahwa perjalanan bukan soal cepatnya waktu berlalu, tetapi bagaimana kita memberi makna pada tiap detiknya.

Saya hanya percaya pada satu hal:
Perjalanan belum usai. Selama napas masih berembus, selama rel kehidupan masih memanjang ke depan, maka cerita-cerita baru akan terus bermunculan.

Demikian kisah saya di Balai Yasa — tempat yang tak hanya merawat lokomotif, tetapi juga ikut menempa pribadi saya dalam diamnya waktu yang terus bergulir.

Yogyakarta, Juni 2025
Helvry Sinaga