60 tahun Kompas, Suatu Perjalanan Batin

Hari ini Kompas genap berusia 60 tahun. Usia yang panjang untuk sebuah media, dan dalam banyak hal, juga bagian dari perjalanan batin saya.

Saya pertama mengenal Kompas di Takengon, kota kecil di dataran tinggi Gayo. Tak banyak pilihan bacaan di sana. Hanya ada satu penyalur: Novia Agency. Di sanalah saya membeli Kompas, meski selalu satu hari terlambat sampai. Tapi itu tidak mengurangi antusiasme saya. Saya menyisihkan uang jajan, Rp900 saat itu, hanya untuk bisa membaca liputannya yang padat dan luas. Salah satu edisi yang paling saya ingat: liputan APEC 1994 di Bogor—momen penting pertama yang membuat saya merasa Indonesia sedang hadir di panggung dunia.

Ketika beranjak ke Medan untuk melanjutkan sekolah, relasi saya dengan Kompas tetap terjaga. Tulang dan Uda saya rutin membeli edisi Minggu—lebih berwarna, ada cerita pendek, TTS, dan halaman lowongan kerja. Saya membacanya dengan semangat, meski kadang harus menahan keinginan merobek halaman cerpen untuk diklip. Di luar rumah, saya juga rutin mengunjungi Perpustakaan Provinsi Sumatera Utara. Biasanya setiap Jumat, saat pulang sekolah lebih cepat. Di ruang baca yang sunyi dan hangat oleh aroma buku, saya duduk membaca Kompas dengan batang kayunya yang khas sehingga mudah membalik tiap halamannya.

Lalu masa kuliah datang, dan Kompas kembali menemani. Di beberapa kos-kosan teman saya, biasanya mereka urunan langganan koran. Di tengah hari-hari kampus yang kadang monoton, Kompas menjadi ruang untuk melihat dunia luar. Rubrik politik, internasional, dan tentu saja edisi Minggu, menjadi teman setia. Dari situ saya mulai menyadari: sebuah tulisan yang baik tidak hanya menyampaikan informasi, tapi membentuk cara berpikir.

Kemudian saya bekerja. Kompas tetap hadir, kali ini dalam bentuk eceran—saya beli di stasiun atau saya baca di  perpustakaan kantor  yang ternyata letaknya tak jauh dari redaksi Kompas: Palmerah. Lalu sejak 2011, saya mulai berlangganan versi elektroniknya. Lebih praktis, tapi esensinya sama: menjaga nalar tetap waras di tengah banjir informasi.

Yang tak pernah saya bayangkan, nama saya pernah dimuat di Kompas. Hanya karena kiriman twit, memang. Tapi bagi saya, itu cukup jadi penanda kecil bahwa saya pernah bersentuhan langsung dengan ruang yang saya kagumi sejak kecil. Mungkin satu-satunya tulisan saya yang pernah masuk ke Kompas—dan itu cukup. Hahaha.

Kini, di usia ke-60, Kompas tak hanya telah berubah, tapi juga mengubah. Ia tumbuh dan bertransformasi di tengah gelombang disinformasi, ujaran kebencian, dan krisis iklim yang terus membayangi. Tapi ia tetap menjaga karakter dan kualitas. Dan seperti kata Heraclitus, filsuf Yunani, “Character is destiny.”  Kompas telah memilih karakternya, dan kita menikmati hasilnya. Karakter itulah yang membuat Kompas terus relevan dan mencerdaskan bangsa, sebagaimana amanat konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Hari ini juga, saya mengucapkan selamat ulang tahun kepada ayah saya—yang secara tak langsung telah mengenalkan saya pada Kompas. Dari beliaulah saya pertama kali belajar membaca, dan kelak mencintai bacaan.

Proficiat, Kompas. 

Terima kasih telah menjadi penunjuk arah—dalam dunia, dan dalam diri.

Helvry

Jakarta, 28 Juni 2025

——-

Oplus_131072