Perjalanan sesungguhnya dimulai ketika pertama kali saya memutuskan untuk ikut race 21 km. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya saya bisa mengikuti race ini di Jakarta. Ini bukan hanya tentang lari, tapi tentang keberanian mengukur seberapa kuat dan seberapa jauh saya bisa berlari.
Dua minggu sebelumnya, saya baru saja ikut trail run ke Ciremai yang mengakibatkan cedera di kaki. Cerita cedera ini akan saya bagikan di lain kesempatan. Namun, ketika saya mengikuti race LPS Monas Half Marathon, banyak hal yang saya temui yang mengajarkan makna perjalanan hidup.
Kembali ke GBK dan Senayan setelah sekian lama vakum menjadi salah satu momen berkesan. Saat mengambil race pack, saya baru tahu ada Senayan Park. Tempat pengambilan race pack-nya berupa doom dengan animasi yang menarik perhatian. Sayangnya, saya harus segera pulang karena hujan dan harus kembali ke Cikarang yang cukup jauh dengan jadwal KRL yang terbatas.
Minggu subuh setelah tidur kurang dari enam jam, saya berangkat ke Jakarta. Jalanan kosong dan lancar, saya memarkir mobil di kantor Mangga Besar, lalu sarapan biskuit dan susu kotak. Tanpa sempat membuat kopi atau teh hangat, saya naik ojek online menuju Monas.

Setibanya di Monas, hati saya bergetar. Dulu saya pernah berlari mengitari Monas bersama seseorang yang pernah membelikan saya sepatu (terima kasih ya). Setelah itu pandemi datang, dan tidak pernah lagi masuk Monas sampai pagi itu. Pemanasan yang cukup berat saya lakukan, tidak ingin cedera lagi karena kurang pemanasan. Latihan saya tidak cukup untuk race 21 km, seminggu terakhir hanya berlari dan berjalan tidak lebih dari 7 km. Tapi, saya sudah di lapangan dan bertekad harus finish.

Kenapa harus finish? Saya ingin mengubah mindset bahwa kecepatan dan kekuatan bukan segalanya. Menyelesaikan garis akhir adalah perjuangan. Ini adalah pertaruhan pertama kali dalam hidup menantang diri jauh melampaui apa yang saya bayangkan. Saya berdoa, mengucap syukur, dan memohon kekuatan serta meminta untuk menikmati perjalanan ini dengan gembira.

Bendera start diangkat, saya mendengar nama PJ Gubernur DKI, Heru Budi, dan Ketua Umum PASI, Luhut Binsar Panjaitan. Jalan dari Silang Monas Tenggara, Gambir, Lapangan Banteng, Kementerian Luar Negeri, GPIB Imanuel, dalam 3 km pertama saya bisa berlari melewati runners lainnya. Nafas cukup terkendali, tetapi memasuki Tugu Tani, Taman Ismail Marzuki, kaki kanan saya tegang. Rasa sakit di lutut luar kembali muncul, mengingatkan kejadian di Ciremai. Masih 18 km lagi, Tuhan.
Setiap water station, saya minta kaki disemprot anti nyeri. Sayangnya, rasa sakit tidak hilang, namun sedikit berkurang. Saya tidak mau kehilangan momen. Pemandangan pagi dari Bundaran HI ke Semanggi sangat indah, menikmati Jakarta tanpa kemacetan dan kendaraan bermotor. Selama berlari, saya bertarung dengan pikiran, bertanya-tanya mengapa ikut race ini. Tapi, saya mulai berdamai dengan rasa sakit, mengikuti irama nyerinya. Apakah ini rasa nyeri yang indah? Entahlah.

Seolah menziarahi perjalanan hidup yang telah menginjak usia 41 tahun. Melihat banyak yang lebih senior ikut race dan terlihat bahagia. Merbabu dan Ciremai saja bisa saya daki dan turuni, masa jalan rata nggak bisa? Saya terus memotivasi diri, meminta setiap pelayanan medis untuk membalur kaki kanan dengan counterpain, salonpas, hot cream. Sampai di Blok M, terlihat Universitas Al Azhar Indonesia, memori menunggu dosen thesis yang tidak support saya, tetapi toh selesai juga. Kapok? Entahlah.
Saya memaknai pelarian ini sebagai jalan hidup. Apa yang saya punya, saya nikmati. Jika tidak ada, terima nasib saja, tapi jangan berhenti. Menyapa petugas panitia sepanjang race, memberikan senyuman hangat yang mereka balas dengan tulus. Memberikan toss kepada mereka, semangat mereka mengalir dan membuat saya terus bertahan menapaki kilometer demi kilometer.

Naik Semanggi menuju Jalan Gerbang Pemuda, saya isi dengan jalan kaki. Jalan kaki nyaman untuk kaki, tetapi jika terus berjalan, tidak akan tiba finis tepat waktu. Jadi, saya paksa sedikit lagi sampai benar-benar tidak tahan lagi sakitnya. Saya berjalan kaki, mengubah mindset bahwa sebentar lagi perjalanan akan berakhir. Pertahankan apa yang ada, jangan sampai cedera atau kram.
Race ini saya maknai bahwa apa yang dulunya tampak tidak mungkin, berawal dari hal-hal kecil yang tampaknya sepele. Mengingat ketika SMP, sekitar 25 tahun lalu, saya dikenalkan berlari oleh ayah. Setiap hari Minggu, kami berdua lari mengelilingi kota Takengon yang dingin, sekitar 10 km atau lebih sedikit. Saat itu napas saya tidak sanggup, sering diselingi berjalan kaki. Terima kasih ayah, telah mengenalkan olahraga sederhana yang bertahun-tahun tidak saya tekuni. Baru jelang usia 40 tahun saya mulai mempelajari dan menemukan keasyikannya. Meskipun sakit, pegal, lelah, ternyata membawa dampak yang luar biasa.



Selamat ulang tahun kepada ayah saya, yang bersamaan hari lahirnya dengan ulang tahun Kompas. Semoga saya bertemu lagi di race ini tahun depan, dengan pemaknaan yang baru.
Monas, 30 Juni 2024
Selesai ditulis: Mangga Besar, 5 Juli 2024