Saya hanya sedikit ingin menorehkan catatan saya, sedikit ingatan untuk Bulan Desember 2020.
Ada meme yang menggelitik bahwa 2020 itu terdiri dari Januari, Februari, Pandemi, dan Desember. Geli tapi miris. Akhirnya terbukti bahwa apa yang bisa kita rencanakan, tidak bisa terlaksanakan. Tetapi yang tak kalah pentingnya adalah apa yang terlaksana dari apa yang tidak kita rencanakan. Kedua refleksi itu semoga mengajarkan kita bahwa begitulah hidup, sungguh tak terduga.
Sebetulnya ada kebijaksanaan-kebijaksanaan kecil yang bisa kita pelajari. Satu hal yang saya amati adalah tidak mudah menjadi pemimpin di masa seperti ini, atau dengan kata lain menjadi seorang pemimpin teruji pada masa seperti ini. Dalam skala global, tidak ada negara yang aman dari serangan pandemi, tetapi ada negara yang segera berpulih. Demikian juga dalam hal mikro seperti keluarga, tidak ada yang tidak terdampak, tetapi ada yang segera berpulih. Mungkin persoalannya tidak sama persis, tetapi pasti ada pola merespon pandemi ini. Perbedaannya adalah bagaimana pemimpin merespon situasi dan apa strategi bertahan sampai berpulihnya. Sampai saat ini kita tidak dapat menguji proses tersebut karena kita dalam proses itu, kita hanya dapat mengecek hasil dan itu di belakang.
Jadi beruntunglah ia yang pemimpinnya peka.
Hari ini pilkada serentak di Indonesia, saya menggunakan hak pilih dengan bermodal browsing satu jam sebelum pencoblosan. Saya tidak bisa memutuskan apakah latar belakang parpol pengusung atau faktor lainnya turut menentukan kualitas kepemimpinannya kelak, saya tidak tahu. Saya hanya bisa lihat nanti di tahun 2025 seperti apa jadinya. Untuk mengkritisipun saya tidak ada nafsu, persoalan saya pun tidak kalah pelik, bukan?
Hari ini sebagai pengingat saja, bahwa saya datang ke tempat pemungutan suara pertama kali menggunakan masker, mencuci tangan, dan ditetesi tinta ungu.
Sekian.
Indonesiapulih 2021