Greeting from Jakarta

Berkat itu datang tidak selalu diukur dengan uang, apalagi di masa seperti ini. Kita harus pintar-pintar menjaga imunitas, dengan tertawa contohnya.

Sepertinya menjadi kurator tak mesti benda-benda seni, bukan? seperti kemarin saya ditawari urunan langganan buku digital, saya ambil saja karena cukup (bahkan lebih dari cukup) untuk mengefisienkan belanja buku (yang umumnya akhirnya menjadi timbunan) dan juga mengefisienkan tempat penyimpanan.

Efisien. Jargon masyarakat digital 4.0.

Dari grup klub pengunyah – hanya datang sekali kopdarnya – saya beroleh informasi seperti ini:

Greetings from Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950

Berkah Dalem Gusti. Dulu saya tahan berdiri membuka-buka buku ini di toko buku, membuka lembar-lembarnya begitu memesona. Kertasnya luks dan seluruhnya berwarna. Ngarep banget dapat diskon, dan ternyata diberikan gratis oleh Scott Merrillees, penulisnya. Segera saya ke lamannya, mengisi form dan mengunduh buku itu.

Bagaimanapun, Jakarta menjadi tempat pengembaraan saya. Saya juga pelaku urban yang mengadu keberuntungan di kota ini yang juga dilakukan oleh orang-orang dahulu untuk bertahan hidup. Jakarta menjadi simbol kesuksesan dan keberhasilan perantau, meski kenyataannya tak begitu. Orang yang hidup di Jakarta menjadi miskin hati dan cinta. Halah.

Museum Fatahillah yang dulu saya lihat di prangko, hadir dalam sebuah kartu pos:

Untuk cerita di balik gedung-gedung tua di Jakarta, saya suka baca bukunya Bapak alm. Adolf Heuken, SJ. Latar belakang sebagai seorang arsitek (seperti Romo Mangun) memberi kekayaan dalam memaknai seni arsitektur, dan akhirnya membuat saya belajar mengapresiasi seni rancang bangunan.

Berikut saya letakkan tautannya, sebagai pengingat, semoga mesin pencari google bisa menemukan laman ini.

https://drive.google.com/file/d/1SvOWbljfNhdeD7j1vF_OQ9LktVR2xL1B/view?usp=drivesdk

Terima kasih bapak Scott, bekal belajar sejarah saya bertambah. Tabik.

Helvry Sinaga