Honor

Hai Apa kabar?

Semoga dalam keadaan sehat. Pemberitaan tempo pada minggu ini sangat menarik. Yaitu pemberian gelar doktor Honoris Causa yang abal-abal. Lebih detailnya bisa baca sendiri temponya. Tapi saya akan kasih tahu bahwa salah satu universitas negeri di Semarang memberikan kepada mantan terpidana korupsi gelar doktor Honoris Causa. Saya tidak berkomentar banyak tentang bagaimana seseorang mendapatkan penulis Causa jika memang. yang memberikan karya atau memang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup, hal tersebut tampaknya lumrah.

Namun menurut saya kejadian ini sangat memalukan karena inisiatif itu bahkan datang dari orang yang bersangkutan. bukan dari pihak kampus, tapi yang mengherankan adalah pihak kampusnya sendiri yang menerima. Saya sebut saja nama orangnya yaitu Nurdin Halid, mantan Ketua Umum PSSI anehnya mekanisme pemberian gelar tersebut tidak transparan dan tidak berelasi terhadap kemampuan akademisnya.

Menurut peraturan menteri yang (saat ini tidak berlaku lagi) yang bersangkutan paling tidak mempunyai karya ilmiah yang cukup, namun dengan adanya otonomi perguruan tinggi, tata cara pemberian gelar ini diserahkan sepenuhnya kepada universitas. Dampaknya, tidak ada lagi pengawasan dari kementerian riset dan teknologi dan Pendidikan tinggi, meskipun kemudian dapat melakukan pencabutan gelar jika ditemukan pelanggaran, namun justru aneh ketika melakukan pencabutan gelar, terlihat dari mekanisme yang tidak memadai. Alangkah berbahayanya ketika universitas tersebut diisi oleh orang-orang yang mungkin dengan pesanan tertentu untuk meloloskan pemburu doktor

Saya bingung adalah kenapa orang tersebut kepingin banget untuk dapat gelar tanpa melalui proses yang normal. Sudah jelas ini namanya new normal.

Saya teringat beberapa tahun yang lalu saya mendengar seorang pejabat di kementerian memperoleh gelar doktor di Universitas Negeri di Depok. Namun menurut saya cara-cara dia masih bisa diterima akal. Disamping kuliah, yang ia lakukan adalah ia juga menugasi stafnya untuk ikut kuliah bersamanya untuk menempuh program dotoral tersebut. Dalam artian, ia tidak sekedar menugasi stafnya, tetapi juga ikut membiayai pendidikan stafnya. Sehingga. ini bisa satu kelas dengan stafnya, tentu saja tidak gratis karena stafnya ntuk ikut membantu mengerjakan makalah atau mungkin juga sampai ke pengerjaan disertasinya. Mungkin biasalah, di pejabat kementerian, rasa-rasanya jika tidak memiliki gelar doktor, itu belum oke banget.

Teladan apa yang dapat Anda terima dari seorang mantan ketua umum PSSI yang kita tahu bahkan organisasinya ini tidak luput. praktik korupsi, atur skor kompetisi yang tidak memberikan value yang bagus untuk. Indonesia, prestasi PSSI yang tidak memberikan kebanggaan.

Sebetulnya sebagai masyarakat awam kita bisa membandingkan orang-orang yang menerima gelar tersebut dengan apa yang dihasilkan, sebagai contoh Jusuf Kalla, dengan selesainya konflik di Aceh saya rasa ia layak untuk menerima gelar tersebut dalam kategori perdamaian. atau misalnya kepada Susi PujiAstuti yang ikut mengembangkan kehidupan perikanan dan laut. Atau mantan presiden SBY dalam rangka  pembangunan berkelanjutan.

Namun dibalik itu semua ini hanya kekisruhan ataupun cermin dari wajah pendidikan tinggi di negeri ini. Banyak orang yang mau mengikuti jalur akademis karena memang sangat-sangat tidak bersahabat bagi mereka yang sedang punya kegiatan ataupun punya aktivitas

Tapi persoalannya adalah ya orang itu sendiri kok mau gitu. Kenapa harus ngambil gelar toko? Sudah tahu kuliahnya tidak main-main tidak mudah. Tapi ya kok gitu.

Teringat ketika menonton salah satu video di teds talk yaitu seorang doktor dari University of Denmark namanya Fatima. Dia ahli di bidang nano kimia yaitu suatu studi yang merupakan kombinasi kimia dan sains nano. Saya telusuri di web dia mengembangkan suatu sistem informasi yang dapat mentranslasikan bahasa rumus kimia tadi itu ke dalam bahasa yang bisa dimengerti (manusia). Jadi gampangnya penguasaan dia terhadap nanokimia sudah pasti harus menguasai juga bidang teknologi informasi yang bisa menyajikan bahasa rumus kimia yang njelimet  ke dalam suatu bahasa  yang bisa dimengerti oleh manusia.

Jadi saya membayangkan orang yang pengen pendidikan ataupun memperoleh gelar yang ngemis-ngemis ke kampus itu, punya mental miskin dan tidak memiliki integritas. Sangat tidak layak ditiru. Sesederhana itu. Ini yang dinamakan orang-orang yang tidak mau ambil tanggung jawab, pengen instan, tanpa perjuangan usaha yang teguh, tidak memiliki. Sungguh hanya berfokus pada hasil.

Lagi-lagi di samping biaya tentunya memang harus memberi waktu khusus pada proses pendidikan itu sendiri. Karena itu banyak rekan-rekan yang saya amati mengambil pendidikan secara serius dengan membebaskan tugas utamanya dan dia bisa ikuti proses dengan lebih fokus. Sungguh-sungguh.

Sehubungan 17 Februari 2021 ada dua tokoh perempuan lahir pada tanggal tersebut yang patut kita ketahui kiprahnya. Yang satu berpendidikan tinggi, yang satu tidak, tetapi dua-duanya memberikan pengaruh yang sangat luar biasa.

Orang pertama, mungkin Anda belum kenal, namanya Dokter Marie Thomas (17 Februari 1896). Seorang perempuan kelahiran Minahasa yang menjadi mahasiswi dokter pertama di sekolah kedokteran Stovia. Dia merupakan dokter spesialis Obgyn pertama di Indonesia dan dialah yang mempromosikan kesehatan persalinan peremppuan di Indonesia. Anda bisa baca sendiri kisahnya dalam salah satu buku Nh Dini, dengan nama tokoh yang sama dengan nama aslinya.

Bisa dibayangkan ketika menempuh pendidikan tinggi pada awal abad dua puluh mungkin hampir sama rumitnya dengan pendidikan doktor sekarang ini. Harus punya biaya, punya niat, tapi kalau dulu harus kaya atau didukung sama orang yang kaya.

Orang kedua adalah ibu Inggit Garnasih (17 Februari 1888). Dia bukan orang yang berpendidikan tinggi, tetapi ia berpengaruh sangat besar kepada pemimpin republik ini. Seorang perempuan Sunda yang memiliki keahlian membuat bedak dan jamu, serta berniaga bedak dan jamu buatannya. Anda bisa bayangkan bahwa bu Inggit mendampingi Soekarno dengan membiayai Soekarno agar fokus kepada studinya yang masih belum selesai. Soekarno masih terlibat dalam pergerakan pergerakan politik di Indonesia dalam pembentukan partai nasional Indonesia dan Soekarno bisa dibilang tidak bisa cari duit.

Bahkan ketika Bung Karno dibuang ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Buku-buku beliau dikirim oleh ibu Inggit ini langsung ke sana. Itulah yang menjadi teman Soekarno ketika dalam masa pembuangan. Kita bisa bayangkan pedagang bedak, pedagang jamu, dianggap apa sih saat ini? Atau dianggap apa juga pada masaitu. Mungkin bukan siapa-siapa

Karena ketekunan dan cintanya kepada Soekarno, Bu Inggit memberikan dukungan yang luar biasa. Walaupun kita tahu sendiri bahwa Soekarno akhirnya dengan istri-istri selanjutnya yang lebih keren, yang lebih wow, tapi Bu Inggit dengan konsisten menolak untuk dimadu.

Kita baca buku Kuantar ke gerbang. Bahkan ketika Soekarno di penjara di Banceuy, Bu Inggit dengan rajin mengunjungi Soekarno. Cerita tentang Inggit yang mengunjungi Soekarno di LP Sukamiskin itu sangat mengharukan bagi saya. Dari Kota Bandung ke Sukamiskin, bu Inggit menempuhnya dengan berjalan kaki karena ketiadaan uang. Pada saat itu bu Inggit juga membawa Umi, anak angkat mereka, karena Soekarno menyayangi anak itu. Ketika mereka ke sana, hujan mengguyur mereka berdua dan bu Inggit harus memayungi mereka berdua dengan hanya satu payung. Berjalan berdua dalam satu payung!

Ketika masa pembuangan di Ende, Soekarno juga membaca buku-buku tentang teologi Islam, ia berdiskusi dengan tokoh-tokoh setempat. Nampaknya, Soekarno memiliki teman diskusi yang setara. Anda bisa bayangkan bahwa Soekarno sampai minta kepada Inggit agar dicarikan buku yang judulnya The Spirit of Islam. Padahal kita tahu bahwa Inggit bukan orang akademis, dia hanya menjual bedak dan jamu, tapi demi cintanya pada Soekarno, ia cari buku itu. Bahkan, mungkin Inggit tidak tahu bahwa ada bab dalam buku itu yang berjudul the status of women in Islam yang berbicara tentang sejarah monogami dan praktek poligami yang sesuai dengan konteksnya. Inggit tidak tahu atau bahkan tidak merasa perlu untuk tahu.

Kita bisa bayangkan bagaimana inti begitu berbahagia ketika menerima surat dari Soekarno bahwa pembuangannya akan berakhir. ke Bengkulu. Ya masih sama-sama di penjara tetapi tampaknya itu masih lebih dekat dibanding dari Bandung ke Ende, daripada dari Bandung ke Bengkulu.. Namun kita tahu bahwa Soekarno ke Bengkulu mengubah seluruh jalan hidup dan Soekarno.

Ya, Soekarno dikenal sebagai sang penyambung lidah rakyat, macan podium dan sebagainya. Tulisan-tulisannya sangat memikat. Pidato-pidatonya sangat. Kagum. Namun fakta yang tidak dapat ia pungkiri, mungkin tidak tampak dalam tulisan-tulisannya ataupun di dalam pidatonya adalah: adanya orang yang mengasihinya dan mendukungnya. Cinta ingin pada negeri ini terwakili pada cintanya pada Soekarno. Karena itu saya mau mengagumi spiritualitas bu Inggit yang ikhlas dan berpengharapan. Dalam bukunya itu, Inggit  berkata “dalam hidup ini saya tidak membawa apa-apa. Hanya dibekali dengan iman, dan iman itu tetap saya pegang selama hidup saya.”

Pemikiran Inggit pun banyak dipengaruhi oleh Soekarno. Inggit mengakui bahwa kadang kala ia merasa rendah diri ketika berhadapan dengan Soekarno sebab Soekarno sangat cerdas. Namun, dalam kerendah hatiannya, ia menulis apa yang diajarkan Soekarno padanya. “Begini. Kamu harus punya karakter, harus. harus punya corak sendiri. Jangan sekali-kali kau seperti pohon cemara yang tertiup angin barat, ikut ke barat, tertiup angin timur, tertiup ke timur..” Bahkan dengan ajaran Soekarno itu Inggit memegang teguh prinsip bahwa ia tidak mau dimadu. Ia meminta diceraikan Soekarno. Dalam kesederhanaan berpikirnya, hal itu adalah harga mati sekali pun itu menyesak dalam dadanya.

Kembali ke Marie Thomas bahwa Marie Thomas masuk ke Stovia tidak lepas dari peran Alexa Jacob. Ketika Alexa Jacob di Hindia Belanda di Batavia, ia mendesak kepada Gubernur Jenderal Idenbook agar perempuan Bumiputra diizinkan mendaftar pendidikan kedokteran. Setelah lulus dari  Meisjesscholl (sekolah gadis) di Yogyakarta tahun 1912. Marie Thomas mendaftar sekolah kedokteran pada tahun 1912  dan lulus tahun 1922. Sepuluh tahun untuk pendidikan dokter.

Dari dua tokoh ini yang kebetulan lahir pada tanggal yang sama. Saya memaknai bahwa hidup yang ada ini harusnya memberikan arti kepada banyak orang. Mungkin Bu Inggit hanya kepada Sukarno. Tapi ternyata dampaknya sangat luar biasa. Demikian Dokter Merry Thomas  Ia menjadi dokter Obgyn dan ia menekuni profesinya yang memberikan pengaruh dalam bidang persalinan ataupun kebidanan. Itulah karyanya.

Saya jadi teringat atas satu puisi pendek yang disampaikan oleh penyair lewat akun media sosialnya menyatakan seperti ini:

Umur manusia terlalu pendek untuk tidak mencintai dengan sungguh.

Memanglah, kecintaan, ketekunan dan pengharapan adalah pekerjaan besar yang tidak mudah dilakukan. Terutama tidak bisa instan, seperti pemburu gelar doktor humoris di atas.

Kalau ditanya, apakah Anda berminat untuk pendidikan doktor?

Sayangnya celengan saya tidak ada.

Honor saya tidak cukup.

Sekian