Ketika perjalanan pulang dari kantor, saya sempatkan membaca catatan pinggir Gunawan Muhammad pada Tempo yang bercover wajah Kompol Novel Bawesdan yang lagi hangat dibicarakan. Mata saya langsung terpaku pada judulnya “Zarah”. Ternyata yang dibahas dalam catatan pinggir tersebut adalah Tokoh Zarah pada novel “Partikel” Dewi Lestari. Zarah yang dididik langsung oleh ayahnya, seorang dosen Institut Pertanian Bogor bersama dengan tanaman-tanaman di hutan. Sisi yang dibahas oleh Gunawan Muhammad adalah ketika Zarah memasuki sekolah formal, dan mengikuti pelajaran agama. Guru agamanya menanyakan siapa yang dia sembah, dan Zarah menjawab: jamur. Zarah dianggap menghina Islam dan Al-quran.
Satu cerita lagi dari kisah nyata, Arthur Rimbaud. Ia menulis dengan rasa tidak suka tentang ajaran Kristiani yang diajarkan padanya sejak kecil. Sajaknya berjudul Les pauvres a l’eglise (orang-orang miskin di gereja) menyebut “iman yang bodoh dan mengemis-ngemis” dan sajak berjudul Soleil et chait (Matahari dan Daging) meneriakkan :jangan ada tuhan-tuhan lagi. Gunawan melanjutkan, bahwa perbedaan antara Zarah dan Rimbaud yaitu: Zarah dididik ayahnya bahwa manusia tidak lebih hebat dari sebuah fungi, dan Rimbaud menyerukan keharusan “modern sepenuhnya” dan “manusia” adalah Raja dan Tuhan. Kesamanaannya adalah Tuhan didatangkan ke dalam hidup dengan kaki yang menginjak.
Dan sebagai penutup, Gunawan menulis: “Saya bayangkan anak-anak seperti arus hulu yang tercurah, yang tak menentukan hilirnya sendiri. Kemudia dunia yang dihuni orang-orang tua menampungnya dengan waswas. Ada yang jadi sungai deras, ada yang tersekat di waduk persegi. Di bawah itu, Tuhan terasa sebagai Tuan yang membuatnya cuma terdiam.”
Membaca catatan pinggir beliau, saya pun melayangkan pertanyaan pada Pak Gunawan melalui akun twitternya:
Sebuah jawaban beliau langsung melayang pada saya:
Saya hanya berpikir, orang dewasa seperti siapakah yang memiliki pemahaman tentang Tuhan seperti ini? apakah para pemuka agama? para orang tua yang sudah menikah puluhan tahun? para pemimpin negara agama?
Dan saya teringat pada lirik sebuah lagu yang berjudul “Sadis” dinyanyikan oleh Afgan:
…..
Semoga Tuhan membalas semua yang terjadi
Kepadaku suatu saat nanti
Hingga kau sadari sesungguhnya yang kau punya
Hanya aku tempatmu kembali
Sebagai cintamu
…..
Terlalu penting apa, sehingga ada pembalasan?
Apakah Sang sumber Cinta perlu melakukan hal ini?
Dan contoh seperti inilah yang dikonsumsi anak-anak kita
Helv
16102012