Dari Ritualisme Iman ke Spiritualitas

Persis pada titik perenungan yang tak biasa. Ketika pesan berduyun-duyun tiba dalam kotak pesan di ruang obrolan whatsapp. Teks-teks berjejalan, berderet mencari makna yang dititipkan si empunya. Ucapan maaf, ungkapan pengakuan atas kekhilafan sepanjang tahun hingga tiba saat tepat (yang dinisbahkan dalam momen diujung ramadhan, jelang hari kemenangan).

Fragmen tersebut, sejenak mengajak untuk berziarah ingatan, pada sebuah karya Miguel De Cervantes ketika ia menuliskan cerita “Don Quixote”. 400 tahun kemudian hikayat itu memberikan satu hikmah yang mendalam bagi manusia. Pun bagi saya.

Cervantes hidup di masa moderen awal di eropa. Tepatnya di Iberia, ketika itu “kebenaran” tak cukup stabil,dalam pergolakan transisi kebudayaan dan kekuasaan. Di satu sisi, lanjutan “zaman keimanan” masih sangat terasa. Sejarah Spanyol sebagai satu kerajaan, lahir dari kemenangan atas kerajaan Islam, ia jadi satu bangsa dengan agama katholik sebagai perekat.

Kolonialisme ke Amerika Latin dan Filipina juga disertai nama Tuhan; penaklukan ke dalam negeri dilakukan takhta dan kantor inkuisisi yang mengusut keimanan. Hampir tak ada sekat antara akidah dan politik. Semua tak lagi dimaknai sebagai silang sengkarut, justru sebagai satu titik mapan dimana manusia meyakini kebenaran.

Kini, manusia begitu akrab dan larut dalam hiruk pikuk-gairah semacam itu. Manakala tradisi membelah diri dari hakikat sejatinya. Iedul Fitri-Lebaran-maaf memaafkan menjelma menjadi ritual yang cukup membosankan. Membaca pesan hasil copy paste. .

Soneta ini segera bergerak dengan bahasa yang lebih dekat ke percakapan biasa. Tak ada makna. Hiruk pikuk menjelang hari kemenangan itu menjelma menjadi kemewahan yg menyaingi surga. Tak jelas, apa yang menyebabkan perubahan itu.

Diakhir catatan pendek ini, ingin saya kutip satu puisi Cervantes:

Aku bertaruh, sukma si mati.
Akan menikmati tempat ini,
Hanya tempat ini, bukan lagi ruang
Dimana ia akan tinggal abadi.

Semoga pada setiap bulan, setiap waktunya manusia dimampukan (pun saya) merawat spirit ramadhan, menjelang hari yang disebut kemenangan dengan sepotong hikmah yang tak lekang oleh simbol.

Amiin.

2 Syawal 1439 H.

Dian Cahaya