Jouhatsu

Jepang memiliki sejarah yang panjang dan kaya dengan tradisi dan nilai-nilai yang telah diwariskan secara turun temurun. Baru-baru ini artikel di Kompas menambah wawasan saya tentang istilah Jouhatsu dan Yonige-Ya.



Jouhatsu, istilah ini merujuk pada fenomena di Jepang di mana sebagian warga memilih untuk menghilang dari kehidupan mereka yang sebelumnya karena tekanan sosial yang tinggi.
Yonige-Ya, merupakan bisnis yang membantu orang-orang yang ingin menghilang dari kehidupan lamanya dan memulai hidup baru.

Menarik. Sebuah budaya yang direspon dengan bisnis. Namun yang menarik adalah, apa yang menjadi penyebabnya.

Di Jepang, ternyata terdapat fenomena yang hampir sama dengan orang-orang di seluruh dunia, namun bagaimana cara mereka merespon tergambar dalam alasan, mengapa terjadinya Jouhatsu itu.
Pertama, Tekanan sosial yang tinggi. Masyarakat Jepang memiliki standar yang tinggi dalam hal prestasi dan keberhasilan. Kegagalan dalam mencapai ekspektasi ini dapat mengakibatkan tekanan mental yang besar. Kedua, Tumpukan utang. Beberapa orang memilih menghilang untuk menghindari tumpukan utang yang mereka hadapi.
Ketiga, Kegagalan di sekolah atau tempat kerja. Ketika menghadapi kegagalan di sekolah atau tempat kerja, beberapa individu memilih untuk menghilang sebagai respons terhadap tekanan dan rasa malu.

Hal serupa tentunya terjadi juga di masyarakat kita. Tetapi tidak seperti di Jepang, yang frekuensinya cukup tinggi.
Menurut laporan kepolisian Jepang pada Juni 2023, terdapat 84.910 warga Jepang yang dilaporkan hilang pada tahun 2022. Dalam periode 2013-2022, rata-rata 83.283 orang Jepang menghilang setiap tahun, dengan jumlah pria yang menghilang lebih banyak daripada perempuan.

Berdasarkan film di Europe on Screen yang sudah selesai pagelarannya 25 Juni 2023 lalu, terdapat beberapa film yang bertemakan kesehatan mental, akibat tekanan sosial ataupun budaya yang cukup kuat di bangsa itu mengenai bagaimana merespon keadaan yang cukup menekan terutama mentalnya. Saya meresume beberapa judul sebagai berikut.
– Comedy Queen (Swedia): Film ini mengisahkan perjuangan seorang remaja perempuan bernama Sasha yang berusaha berdamai dengan duka dan mencoba mengalihkannya melalui dunia komedi.
– Esther’s Orchestra (Denmark): Film ini menggambarkan bagaimana seorang suami merespons kematian istrinya, Esther, dan berusaha mencari cara yang tepat untuk mengabarkan kepada anak-anaknya bahwa ibu mereka telah meninggal.
– Ann (Irlandia): Film ini diangkat dari kisah nyata seorang gadis remaja bernama Ann Lovett yang harus menghadapi konsekuensi dramatis setelah melahirkan diam-diam dan kehilangan nyawanya.

Catatan: sayangnya saya belum tonton semua, hanya berasal dari liputan Kompas.

Kali ini pertanyaannya, apa yang sebaiknya kita lakukan untuk merawat diri terutama mental kita bila atau mengantisipasi menghadapi tekanan atau situasi sulit tersebut?

Sore ini, saya diingatkan oleh lirik lagu Words dari Bee Gees, yang disampaikan di sela-sela menunggu bedug Maghrib. Tidak mudah memang, tetapi ketulusan dan kejujuran akan membawa dampak yang luar biasa.



It’s only words, and words are all
I have to take your heart away

Terima kasih Bapak. Paling tidak mengingatkan saya agar mendengarkan lagu-lagu lama sembari meresapi kembali lirik-liriknya.

Selamat Hari Raya Kurban buat kita semua. Selamat menemukan jalan baru.