“We all love stories”

“We all love stories”

Adalah kutipan pada salah satu video yang ditayangkan pada even Europe on Screen tahun 2023. Pada video itu, beberapa orang ditanya, apa yang menjadi mimpinya. Ada yang ingin menggarap film sains fiksi, ada yang membuat skrip, dan selanjutnya sampai pada kutipan: “we all love stories”.



Kok nyambung dengan yang saya pikirkan. Bahwa kita sebetulnya menyukai cerita, sepertinya manusia terdiri dari 80% air, 10% protein, dan sisanya adalah kata-kata. Hahaha. Ngaco tenan!

Sebetulnya saya bukanlah penggemar film. Tetapi menonton film berkualitas seperti di Europe on screen ini, kayak “nagih”, ada empat judul film yang saya tonton selama seminggu ini:
– Piano piano (Italia)
– Holy Shit (Jerman)
– The Forger (Jerman)
– Frankie five stars (Prancis)
Saya akui, godaan untuk tidak datang cukup berat, tetapi saya menguatkan niat untuk datang ke berbagai pusat kebudayaan Eropa yang menjadi tempat pertunjukan film ini, yaitu di IFI Thamrin, Istituto de Cultura, dan GoetheHaus. Saya berpikir, bahwa even ini hanya sekali setahun. Belum tentu tahun depan akan saya ikuti. Selain itu, kesempatan mendatangi tempat baru adalah pengalaman tersendiri. Tempat yang belum saya datangi yaitu Kedubes Austria dan Erasmus Huis. Jadi, agenda saya ada dua. Nonton film dan mendatangi pusat budaya Eropa di Jakarta.

Ternyata, liputan di kompas hari ini, menceritakan beberapa pejuang film yang “dahaga” akan film-film Eropa lewat even ini. Saya beruntung, paling tidak satu judul satu hari setelah jam kerja, menjadi penghiburan tersendiri.

Dari tiga tempat itu, yang menjadi favorit saya adalah GoetheHaus. Karena tempatnya sudah seperti panggung bioskop teater. Plus, sound-nya bagus.

Tentang film, saya lebih belajar budaya, ketimbang jalan cerita filmnya. Lewat Piano piano, saya tahu bahwa di Italia juga ada
Tempat suburban, yang juga menyimpan berbagai persoalan kehidupan: cinta anakmuda yang sembunyi sembunyi, soal gesekan antarkeluarga, dst. The Forger, saya tahu ada profesi pemalsu kartu identitas pada zaman Nazi, Frankie Five Star, ini filmnya agak rumit, karena terdapat dua cerita dalam dimensi berbeda. Nah film yang nyebelin adalah Holy Shit. Seorang arsitek terjebak dalam toilet portabel. Sepanjang 90 menit, hanya dia seorang yang berusaha keluar dari toilet itu. Tetapi aktingnya benar hebat. Ada humor dibalik ketegangan yang sudah mengancam nyawa di depan mata.

Saya memaknainya sebagai perjalanan batin saya untuk mengenal manusia dengan segala kerumitan hidup dan berpikirnya. Beberapa film yang diulas kompas, akan menjadi perhatian saya, karena itu ingin saya catat disini:
– Comedy queen
– My grandfather’s demons (Portugal)
– I have electric dream
– somewhere over the chemtrails (Ceko)
– Esther’s Orchestra
– you will not have my hate (Prancis)
– totem (Belanda)
– alma & Oskar
– last dance
– First snow of summer (Austria)
– amusia (Italia)

Meski tak banyak paham, tetapi bagi seorang penikmat sinema amatir seperti saya, pengalaman ini sungguh menakjubkan.

We all love stories.