Awal Februari sudah tiba. Tahun baru telah berlalu satu bulan, bergeser perlahan tanpa terasa. Dan di bulan ini, usia saya pun bertambah—kilometer ke-42 dalam perjalanan hidup. Puji syukur kepada Tuhan atas setiap waktu yang telah diberikan, atas segala kebaikan-Nya yang tak pernah habis.
Di awal bulan ini, ada beberapa peristiwa yang terekam dalam ingatan. Saya mempercepat kepulangan dari Kendari karena kabar keponakan dan asisten rumah tangga masuk rumah sakit. Syukur, Aaron kini sudah membaik. Saya dan Abang saya juga menasihati asisten agar tidak buru-buru pulang ke Bandung, mengingat kondisinya yang masih lemah.
Lalu ada momen-momen lain yang terasa begitu berarti—bertemu sahabat yang berbagi cerita dan pandangan hidup yang positif, mengunjungi Kota Tua dan membidik jalan serta gedung-gedung bersejarahnya. Ada rasa tenang ketika melangkah di antara bangunan lama yang menyimpan begitu banyak kisah.

Saya juga mengunjungi Elden di rumah sakit. Di sana, kami makan bersama saudara-saudara, sederhana saja, tapi terasa begitu hangat. Kebersamaan dalam kondisi apa pun tetaplah sebuah anugerah.
Dari semua peristiwa ini, ada satu pemaknaan yang begitu jelas: waktu itu berharga, kesehatan itu berharga, dan kebersamaan itu berharga. Tampaknya Permenungan itu selaras dengan mazmur 42:
Mazmur 42:1-11 (TB) Untuk pemimpin biduan. Nyanyian pengajaran bani Korah. (42-2) Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.
(42-3) Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?
(42-4) Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: “Di mana Allahmu?”
(42-5) Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah gulana; bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan.
(42-6) Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!
(42-7) Jiwaku tertekan dalam diriku, sebab itu aku teringat kepada-Mu dari tanah sungai Yordan dan pegunungan Hermon, dari gunung Mizar.
(42-8) Samudera raya berpanggil-panggilan dengan deru air terjun-Mu; segala gelora dan gelombang-Mu bergulung melingkupi aku.
(42-9) TUHAN memerintahkan kasih setia-Nya pada siang hari, dan pada malam hari aku menyanyikan nyanyian, suatu doa kepada Allah kehidupanku.
(42-10) Aku berkata kepada Allah, gunung batuku: “Mengapa Engkau melupakan aku? Mengapa aku harus hidup berkabung di bawah impitan musuh?”
(42-11) Seperti tikaman maut ke dalam tulangku lawanku mencela aku, sambil berkata kepadaku sepanjang hari: “Di mana Allahmu?”
(42-12) Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!
Sering kali kita sibuk mengejar banyak hal, tapi ketika dihadapkan pada kondisi di mana orang-orang terdekat sakit atau harus dirawat, kita kembali diingatkan bahwa tidak ada yang lebih penting dari kesehatan dan kebersamaan.
Awal tahun mungkin telah berlalu, tetapi perjalanan di tahun ini masih panjang. Februari mengingatkan saya bahwa hidup bukan sekadar deretan hari yang bergulir, melainkan kesempatan untuk mensyukuri setiap waktu, setiap pertemuan, dan setiap napas yang masih diberikan.

Kesehatan, kebersamaan, dan kebaikan Tuhan adalah anugerah yang sering kali baru terasa ketika hampir terenggut. Maka, di sisa tahun yang masih panjang ini, saya ingin melangkah dengan lebih sadar—menjalani hari dengan rasa syukur, menjaga yang berharga, dan tidak menyia-nyiakan waktu yang telah diberikan. Setiap hari adalah anugerah untuk kembali bersyukur, kembali berharap, dan kembali menyanyikan pujian bagi Allah yang setia, sebab Allah yang sama yang telah setia di hari-hari yang lalu, juga akan setia di hari-hari yang akan datang.
Jakarta 01022025