Di tengah kejadi dan pemberitaan yang masif tentang wabah virus Corona (Covid2019), bagaimana merefleksikan membuka isolasi dan menjalin relasi? Hingga 15 Maret 2020, jumlah kasus positif Covid-19 sudah 117 orang Di Indonesia. Apa fenomena yang terlihat? Berikut pengamatan saya (15/3/2020):
di gereja, sudah terlihat berkurangnya jumlah jemaat yang datang. Dari atas altar, saya menghitung sekitar 70 orang yang datang. Beberapa kebiasaan yang hilang antara lain, tidak adanya salam damai, dan salam berkat. Pada pintu masuk, disediakan hand sanitizer, dan pada warta minggu diberitahukan cara-cara menjaga kemungkinan terpapar virus Corona.
Di Stasiun Kereta Api Gambir, di depan meja check in sudah ada petugas yang mengukur suhu tubuh penumpang dengan menggunakan thermometer gun. Selain itu tersedia hand sanitizer di meja boarding. Terlihat ada standing banner dari Kementerian Kesehatan tentang tata cara mencuci tangan dengan sabun dan air bersih.
Di atas kereta, hanya berupa video. Dari kondektur belum ada pengumuman atau himbauan tentang tanggap corona. Penumpang pada pukul 22.55 terlihat sangat sedikit. Kondisi tersebut setali tiga uang di Stasiun Bandung pada dini hari. Biasanya puluhan mobil sudah berjubel di parkiran, kali itu sangat sedikit.
Di kantor, belum terlihat perubahan yang signifikan selain adanya standing banner. Sedikit perubahan kebiasaan terjadi, yaitu salam jabat tangan tangan digantikan dengan senggolan bahu atau saling mengepal tinju. Pagi tadi saya mengontak unit kesehatan untuk meminta masker dan hand sanitizer, namun belum ada respon. Protocol untuk penanggulangan virus corona di stasiun dan kereta sudah ada, namun untuk kantor belum ada.
Bagaimana di WAG? Ruang percakapan riuh dengan postingan antara yang masuk akal dan tidak masuk akal. Postingan surat edaran dari kepala instansi rekan2 anggota grup berseliweran. Baik kementerian, pemerintah proviinsi/kabupaten kota, universitas, maupun sekolah mengeluarkan edaran memperbolehkan beraktivitas dari rumah. Bahkan sebuah sekolah music sampai mengirim pesan ke saya mengabarkan bahwa sekolah music tersebut tutup untuk sementara untuk proses belajar-mengajar musik, dan rekaman hasil latihan bisa dikirimkan orang tua ke pengajar. Pertanyaannya, sejak kapan anak saya belajar musik di situ? Ha ha ha ha.
Permintaan dari kita katakanlah otoritas pemerintahan adalah: Jangan panik, jangan teruskan berita hoax! Persoalannya yang paling mendasar saat ini adalah koordinasi, koordinasi, dan koordinasi. Informasi di lapangan gelap, tidak ada komando yang jelas mengenai penanganan virus corona di Indonesia. Seorang rekan saya memberikan file surat oleh Indonesian-Young Scientist Forum yang merekomendasikan melakukan tindakan membatasi perkumpulan massa dan pergerakan massa (lockdown) jika ditemukan kasus meningkat dua kali per hari. Simulasinya dalam dua pekan (14 hari) terjadi 8.192 kasus. Fase ini termasuk fase pembendungan (containment). Hal ini mencegah penularan yang lebih masif. Jika hal ini tidak dibendung, jumlah pasien akan melampaui kapasitas faskes, dan semakin berbahaya menjelang lima minggu menuju Ramadhan dan idul fitri.
Persoalan selanjutnya yang terjadi adalah ketersediaan alat pengecekan virus. Alat milik Kemenkes, tidak mampu mengecek sebanyak seperti yang diklaim sebanyak 1700 tes sehari. Karena itu forum ini mengingatkan bahwa Indonsesia memiliki laboratorium bio molekular Eijkmann dan laboratorium Unair-yang ditolak Kemenkes- Monopoli informasi oleh Kemenkes itu dikeluhkan oleh Herawati Sudayo, Lembaga Biomolekular Eijkmann.
Pertanyaannya apa relevansinya dengan judul tulisan ini? judul ini merupakan tema prapaskah ketiga tahun ini. Dalam konteks saat ini, bagaimana merefleksikan membuka isolasi di tengah seruan melakukan proteksi komunitas. Tema di atas adalah konteks individu, sementara kondisi saat ini adalah kondisi komunal. Memproteksi komunal adalah kunci penyelamatan. Tidak bersalaman, tidak berjumpa muka adalah bentuk pertahanan, mengulur waktu tubuh membentuk antibodi dan peneliti menemukan vaksinnya, untuk siapa? Untuk hidup kita juga bukan? Saat ini kematian rasanya begitu dekat, sangat dekat.
Sebuah lagu Pada kebaktian kemarin, membuat saya kembali merenungkan apa arti hidup
KJ 365a – Tuhan, Ambil Hidupku
Syair: Take My Life and Let It Be, Frances Ridley Havergal, 1874,
Terjemahan: Yamuger, 1983,
Lagu: William Henry Havergal (1793 – 1870)
Tuhan, ambil hidupku
dan kuduskan bagiMu;
pun waktuku pakailah
memujiMu s’lamanya.
Tanganku gerakkanlah,
kasihMu pendorongnya,
dan jadikan langkahku
berkenan kepadaMu.
Buatlah suaraku
hanya mengagungkanMu
dan sertakan lidahku
jadi saksi janjiMu.
Harta kekayaanku
jadi alat bagiMu;
akal budi dan kerja,
Tuhan, pergunakanlah!
KehendakMu sajalah
dalam aku terjelma;
jadikanlah hatiku
takhta kebesaranMu.
Limpah-ruah kasihku
kuserahkan padaMu:
diriku seutuhnya
milikMu selamanya.