Seminggu kemarin saya berhadapan dengan situasi seperti ini:
Pertama, akhirnya setelah tiga hari menahan sakitnya menelan, saya datang ke klinik kantor, saat masuk ke ruang tunggu, tetiba saya teringat tahun lalu ke tempat ini untuk secarik surat tanda kesehatan sebagai syarat mengikuti short course – yang akhirnya gagal itu—
Kedua, sesudah jam kantor, saya beberes akan pulang, tetiba mendapat kabar bahwa ibu K, rekan seruangan baru saja jatuh dari sepeda motor setelah presensi pulang. Penyebabnya disinyalir tidak waspada ketika datang kendaraan roda empat dari arah berlawanan saat tikungan. Alhasil ia mengalami memar dan luka ringan. Namun tampaknya tidak sesederhana itu. Klinik kantor menyarankan agar dirujuk ke rumah sakit. Kuatir terjadi hal-hal yang serius. Saya bertugas mengantar pulang motornya ke kantor, sedangkan rekan saya yang lain mengantar ke klinik hingga ke rumah sakit. Selesai pkl 21.
Ketiga, seperti biasa setiap saban jumat. Saya sudah di di kereta Argo Parahyangan beroleh kabar, bahwa pak BG baru saja diantar oleh ambulan klinik kantor ke rumah sakit. Seharian ia tidak masuk karena merasa perutnya sakit. Ternyata di mess-nya ia sampai pingsan, untungnya istri dan anaknya sudah datang. Menurut dokter, ternyata ia didiagnosis usus buntu dan keesokan harinya langsung diambil tindakan. Saat ini ia dalam proses pemulihan.
Saya merenungkan pengalaman saya berhadapan dengan rumah sakit. Hal yang umum dirasakan adalah ketidakpastian dalam menunggu. Pasien seolah warga kelas nomor sekian, meskipun berasuransi kesehatan komersial. Saya jadi berpikir, apakah saya nantinya akan dilarang untuk sakit? Apakah fasilitas kenyamanan dalam beroleh jasa kesehatan jika dan hanya jika saya Bersama dengan keluarga paramedis/dokter atau saya harus kondisi super kaya raya? Entahlah, yang jelas saya tidak mau berlama-lama mual membayangkan hal itu, terlebih sudah sekian butir entrostop saya makan.