More than words.

Menjelang senja yang tak begitu dingin di kafe Bandung, diiringi penyanyi dan melodi gitar yang merdu dari “More Than Words”. Disaat not-not itu mengalir, saya melihat perjalanan langkah-langkah saya, menuju tempat ini.

Pandangan yang dulunya mungkin hanya sebatas langit-langit kafe, kini merambah ke dalam ingatan yang tersemat di sudut kota. Suatu renungan muncul, bahwa hidup ini seperti lirik-lirik lagu itu sendiri, lebih dari sekadar kata-kata.

Dari Kebon Kawung, langkah kaki membuka lembaran ingatan. Jalan Aceh terbentang, di sisi kiri, supermarket baru dan toko oleh oleh berganti rupa, meski tampaknya jalan itu terasa semakin sempit.

Perjalanan menyusuri Purnawarman, sebuah pertemuan antara arsitektur modern dan sejarah, gedung-gedung tua menyapa dari sudut-sudut yang tak pernah berubah. Unisba, pohon-pohon tua di depan kampus, mengingatkan pada musim-musim yang telah berganti.

Taman Radio, tetap memancarkan ketenangan dengan pepohonan yang rindang. Melanjutkan ke Taman Dago, rimbunnya pohon dan lapangan luas memberikan kontras dengan lalu lintas yang riuh.

RS. Borromeus, sebagai saksi bisu perubahan waktu, ruang IGD dan ICU yang pernah saya masuki memantik memori masa lalu, seolah-olah jendela waktu baru saja kemarin.

Masih di sudut kafe, saya membiarkan pikiran melayang, dan merenung tentang bagaimana langkah kecil pada waktu yang lalu, menuntun permenungan sore itu. Saya seruput kopi pahit itu.

Pahit. Nikmat.

One eighty coffee, 13 Januari 2024.