Pada sebuah Minggu.

Masih terasa siang tadi sepulang ibadah Minggu, panasnya luar biasa. Tugas “kecil” yang bisa saya lakukan tiap Minggu adalah menyetir ke gereja keponakan-keponakan dan orang di rumah. Keributan dan tangisan di mobil saya anggap hiburan tersendiri, yang mungkin bagi orang tuanya sudah “immune”. Saya teringat Abang saya semalam bercerita tentang perlakuan tidak menyenangkan dari tetangganya perihal adanya anjing kecil di rumah Abang saya. Bahkan sampai tindakan mengintimidasi. Sesungguhnya, disini saya merasa sedih. Pengalaman dengan tetangga kami juga sepuluh tahun lalu, terulang kembali di tempat berbeda.

Soal anjing, menjadi dibawa kemana-mana, dengan kebencian. Bahkan, sampai melakukan kekerasan dengan cara diracun. Hal ini terjadi apda anjing kami yang diungsikan ke Jogja, pasca”keributan” itu. Namun di Jogja juga bukan kota yang toleran sepenuhnya. Dua tahun lalu, Owy – nama anjing kami- diracun di sekitar rumah paman saya.

Sore tadi, petir menyambar-nyambar menandakan datangnya hujan. Saya menunggu di depan pintu hingga tertidur di kursi. Salah satu pekerjaan yang menyenangkan adalah membaca hingga tertidur. Semua khayalan rasanya masuk ke alam mimpi, melupakan sejenak keriuhan kehidupan yang membuat semangat kadang turun dan naik. Paling tidak kali ini saya meniru apa yang dilakukan pahlawan: perjuangan. Perjuangan memori melawan lupa.

Hujan pun datang, seolah menyapukan kegundahan. Saya mencoba tidak kuatir, tak sepenuhnya memang, tetapi berkurang.

Saya mengirimkan video tentang kunjungan kami ke Curug di Purwokerto, dua tahun lalu ke grup chat keluarga.

Sembari saya bersiap-siap ke stasiun, untuk perjalanan selanjutnya.