Apa yang Anda ketahui tentang pajak? Mungkin di sebagian kita berpendapat bahwa pajak itu adalah sesuatu yang seharusnya diberikan kepada negara. Misalnya ketika kita membeli sesuatu, ini berapa pajaknya, atau ada yang berpendapat pajak atas tanah dan bangunan yang kita kuasai, atau juga pajak atas kendaraan bermotor. Tidak ada yang salah. Tidak ada. Namun saya merasakan kadang kala edukasi atau sosialisasi tentang pajak ini tidak begitu bagus, tidak begitu masif, bahkan lebih cenderung bikin kepala pusing.
Sama halnya ketika saya mendatangi satu kantor pelayanan pajak di Bandung ini. Kehadiran brosur, ataupun kehadiran petugas seringkali tidak begitu banyak membantu. Ada spanduk, tetapi miskin informasi edukasi. Tampaknya kantor pelayanan publik kita ini kalah dengan pelayanan-pelayanan publik yang berorientasi pada pelanggan. Sebagai contoh Perbankan. Di perbankan, petugas pelayan, bahkan sampai petugas keamanan pun tahu dan hafal apa produk-produk perbankan tersebut.
Keprihatinan kita pada masa kini adalah banyak perusahaan yang merugi, bahkan tutup pada masa pandemi ini. Hal ini berpengaruh pada penerimaan pajak negara kita, termasuk juga penerimaan atas pajak pekerja. Kemarin saya menerima kabar bahwa Perusahaan di tempat adik saya bekerja dulu tutup, dan dari bulan Juli tahun lalu sudah tidak membayarkan lagi gaji karyawannya secara penuh. karena perusahaannya tutup, kemudian menjual barang-barang inventarisnya dengan harga miring. Hal ini adalah salah satu contoh betapa ganasnya pandemi ini. Banyak perusahaan yang tutup dan termasuk Pekerjanya menerima dampaknya.
Ayah saya juga bercerita bagaimana lesunya perdagangan kopi di tempat kelahiran saya. Permintaan kopi dari negara luar masih ada, namun tidak tersedianya kargo ataupun perdagangan yang membawa dari dalam negeri ke luar negeri mengakibatkan banyaknya stok kopi yang bertumpuk di pelabuhan ataupun di para pengumpul kopi. Akibatnya harga kopi jatuh. Semakin banyak kopi yang tertahan tidak dapat dijual. Dan… Petani pun tidak dapat memperoleh uang. Jadi, hal ini juga ujungnya adalah mau makan apa besok?
Ada satu hal yang menarik dari tulisan M Riza Damanik di Kompas bahwa Indonesia dapat menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ketujuh pada tahun dua ribu tiga puluh, asalkan Pemerintah dapat memberikan perhatian pada peningkatan produktivitas industri perikanan dan segala aspek keberlanjutannya. Namun, hingga saat ini masih terdapat kendala antara lain, industri perikanan Indonesia masih dikuasai ataupun masih digeluti oleh nelayan yang masih berskala ekonomi. Dan dari nelayan ini pun, baru melayani enam puluh persen kebutuhan ikan secara nasional. Kedua, bahwa nelayan ini pun masih kecil keterlibatannya dalam koperasi sehingga tidak dapat bersaing. Ketiga, kebutuhan/konsumsi ikan nasional pun ternyata tidak begitu bagus terutama di Pulau Jawa sehingga masih mengandalkan impor sapi. Hal ini disebabkan karena sistem rantai global perikanan pun belum bagus dari daerah penyumbang ikan ke Pulau Jawa. Ini sebetulnya temuan yang menarik di mana sebetulnya perekonomian kita itu masih tergantung pada sumber daya perikanan, namun situasinya tidak mendukung perikanan nasional
Berkaitan dengan cerita kopi di atas, ayah saya menceritakan bahwa Daerah gayo punya peluang untuk ekspor, namun masih dimainkan oleh para-para pedagang ini. Kopi Gayo cukup terkenal di luar negeri. Ternyata ada permainan bahwa kopi yang diekspor itu telah dicampur dengan kopi dari daerah lain, misalnya kopi dari Jawa Barat, kopi dari Sulawesi. Secara kasat mata tidak terlihat, namun ketika di-roasting, akan mengalami kematangan yang tidak sama dan mempengaruhi kualitas tentunya. Nantinya keberlangsungan ekspor kita tidak akan lama jika kualitasnya tidak seperti yang diharapkan oleh pembeli. Lagi-lagi ini hanya karena keuntungan sesaat. Kita harus perlu belajar dengan Cina yang terus memberikan kualitas terbaiknya untuk katakan buah-buahan yang mereka ekspor ke Indonesia. rasanya mereka tidak memberikan jeruk yang KW dua, KW tiga. Kita bisa kita bisa lihat di supermarket. Seperti itu
Permasalahannya hampir mirip. Tidak hanya di industri perikanan maupun pertanian seperti tadi saya sampaikan contohnya adalah kopi. Bahwa tidak adanya standardisasi hasil pertanian mau pun perikanan. Ini berakibat pada tidak dapat bersaingnya produk-produk perikanan dan pertanian kita itu di skala global. Akhirnya produk unggulan Indonesia ke luar negeri tidak berkesinambungan. Nah, hal ini sebetulnya menjadi peluang bagi petani ataupun nelayan untuk meningkatkan kualitas hidupnya
Lagi-lagi ini persoalannya apakah tersedia strategi nasional untuk meningkatkan dukungan untuk memberikan hasil yang terbaik. Meningkatkan daya saing, efisiensi biaya, meningkatkan kualitas SDM-nya. Karena bagaimanapun. Dari pertanian dan perikanan sangat menyerap banyak tenaga kerja dari industri ini. Jadi tidak melulu komoditas alam berupa kelapa sawit, hasil hutan, batu bara yang menjadi komoditas unggulan Indonesia yang seringkali Pengusahanya serakah terhadap alam.
Kita bicara sinergi, kita bicara masalah kolaborasi, namun ini tidak terjadi pada strategi di tingkat pemerintah. Kementerian masing-masing berjalan sesuai dengan strateginya sendiri-sendiri. Tetapi rantai pasok nilai yang terintegrasi tidak ada. Seolah nelayan dan petani pasrah pada mekanisme pasar yang kejam.
Bagaimanapun yang menjadi tulang punggung di tingkat yang paling bawah adalah koperasi. Dari koperasi ini sebetulnya menjadi “booster” penyemangat bagi petani maupun nelayan dan sebaliknya mereka juga terlibat. Sistem Logistik Nasional, Sistem Rantai Pasok Nasional. Sehingga dari mereka juga dapat membangun suatu standardisasi produk, peningkatan kualitas S. Tani maupun para pedagang maupun eksportir sehingga lagi-lagi meningkat kesejahteraannya siapa? Kalau bukan petan
kembali ke masalah pajak di atas. Ya lagi-lagi kita prihatin ataupun tidak puas dengan pelayanan publik kita bahwa menghitung semua penghasilan di dikumpulkan setahun, dikurangi biaya-biaya, pengeluaran-pengeluaran dan sebagainya baru dipajak. Tetapi sekarang ini tidak terjadi. Dari mana sebetulnya sumber penghasilan kita? Bagaimana kalau ini tidak dapat dipelihara, apalagi ditingkatkan. Lagi-lagi baliknya ke negara juga. Apalagi. Sebetulnya situasi sekarang ini menyedihkan sekali, di mana negara hampir tidak dapat memperoleh penerimaan baru dari pajak karena hampir semua industri ataupun usaha tiarap.
Biarlah sekarang yang dinamakan transformasi digital, juga menyentuh kehidupan para petani ataupun nelayan. Mereka menjadi lebih mudah berkoordinasi. Lebih mudah untuk berbagi pengetahuan ataupun berbagi informasi. Mungkin selama ini masing-masing berjalan sehinggamenjadi tidak efisien, ongkos menjadi lebih mahal. Walaupun tetap terkait dengan aspek infrastruktur transportasi, tetapi paling tidak ada kesatuan, ada kondisi bahwa menjadi bagian dari ekosistem ekonomi ataupun ekosistem digital. Saya tidak sinis dengan yang dinamakan ekosistem digital, atau yang dinamakan startup. Kita harus peka melihat begitu luas dan begitu banyak penduduk negeri ini dan yang paling banyak adalah Petani, nelayan, buruh. Mereka berjuang sendiri-sendiri. Barangkali ketika Anda di cafe, kita tidak pernah peduli bagaimana lahirnya ataupun tibanya kopi ini sampai ke cangkir kita. Ataupun ketika Anda makan ikan sampai di piring, Anda tidak mengerti bagaimana prosesnya ini mulai dari ditangkap dari laut hingga sampai ke dapur restoran. Pajak tidak akan pernah tahu bagaimana semua proses-proses ini sehingga menghasilkan uang hingga mereka (harus) menghitung pajak dan melaporkannya tepat waktu
Kita enggak usah bicara data-datalah. Data-data perekonomian kita kadang-kadang bersifat semu. Memang Indonesia, pertumbuhan ekonominya pada tahun 2020 masih lebih baik dari Singapura. Indonesia masih -2.07% sementara Singapura – 5,9%. Kita kalah dengan Vietnam yang sudah mencapai positif 2,9% tapi ada masalah serius di dalamnya.
kita mengalami yang dinamakan ketidaktahanan pangan. Intinya seperti ini: hasil pertanian kita melimpah tetapi tidak membuat petani atau nelayan itu untung. Harga jual dari panen tidak mencukupi ataupun tidak menutup biaya produksi. Salah satu sebabnya permainan tengkulak atau karena pandemi.
Saya mendengar cerita langsung dari kakak yang punya teman di Humbang Kasundutan mereka menanam kentang. Lalu harga jatuh, harga jatuh, sehingga modal sekitar empat puluh juta habis. Tetapi apa yang dilakukan. syukurnya masih punya teman-teman di kalangan PNS di sana dan bisa menjual secara daring lewat WA. Tetapi modal tidak kembali. Begitu juga ketika mereka menanam cabe. Diperkirakan harganya untung tetapi tidak balik juga harganya ketika panen
Ketika ada masalah juga ketika di mana hasil panen harus ditampung ataupun di simpan ketika terjadi produksi berlebih. selain masuk ke perangkap harga yang seenaknya saja ditetapkan oleh tengkulak, lagi-lagi petani riil ataupun petani bermodal tidak bisa berbuat apa-apa.. kita bisa melihat betapa ketidakadilan itu muncul saat tidak tersedia penyimpanan budi daya hasil pertanian.
Penyebabnya adalah asimetric information. Yaitu tidak tersedianya informasi yang memadai tentang hasil-hasil pertanian yang kita miliki, apa kebutuhan nasional dan bagaimana informasi pengangkutannya. Ini memang diharapkan oleh para tengkulak agar tidak tersedia secara transparan agar menjadi keuntungan bagi mereka. Dan lagi-lagi yang dirugikan adalah petani
Halo, apa kabar dengan e-commerce di bidang pertanian? Tampaknya belum ada. Sehingga mungkin ya kalau ibaratnya kita bisa mencontohkan seperti ini: kita butuh cabe ataupun sayur buncis sekian ton. Kita bisa pesan dari sekarang lewat daring dan petani bisa melihat permintaannya tiga bulan ke depan dan kemudian ia berencana melakukan pembibitan sejak awal dan adanya kepastian permintaan. Sehingga ya ibaratnya elektronik dagang atau e-commerce turut melibatkan hasil-hasil pertanian. Mengapa kita tidak mencoba ini?
Kedua, ayolah kita gunakan ataupun kita konsumsi hasil pertanian kita yang lokal. Kalau memang enggak perlu, hindarilah membeli hasil-hasil pertanian, ikan, daging impor, belilah di pasar tradisional. walaupun kotor dan jelek, ya… Mau enggak mau itu. Aktivitas transaksi berarti sekali bagi mereka.
Yuk sruput kopi dulu.
Lagi-lagi belilah di pasar. Dan pasar, orang Medan bilang adalah Pajak.
Sekian