Perihal kehilangan

Kadang kala kita perlu belajar bagaimana kita harus pulang, supaya tidak terlalu lama tersesat di jalan-jalan asing yang sering kali menawarkan kebaruan, tantangan, dan pesona.

Suatu masa di tahun dua ribu sembilan belas seperti biasanya saya pulang dengan menggunakan kereta api Argo Parahyangan, turun di stasiun Jatinegara. dan saya melanjutkan perjalanan saya ke tempat adik  saya di Pancoran dengan menggunakan ojek. Saya melewati pasar batu akik, Kampung Melayu menyusuri jalan Dewi Sartika Jalan MT Haryono dan tiba di pinggiran Kali Ciliwung.

Saya juga melewati sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di daerah Jatinegara yang dulu pernah menjadi viral karena salah seorang mantan Anggota DPR diduga menyebarkan video hoax sedang menerima perawatan di rumah sakit tersebut. Anda bisa cari namanya. Setahun setelahnya saya pun tidak pernah lagi pulang dengan menggunakan kereta api. Keadaan pandemi yang memaksa saya untuk tidak menggunakan transportasi massal,  saya masih mengingat bahwa rumah sakit ini juga menjadi salah satu tempat dirawatnya ayah teman saya.

Ritual ini rupanya sudah saya tidak ikuti kurang lebih selama setahun ini, tetapi persoalannya bukan di situ. Kadang kala dengan melewati jalan yang itu-itu saja membuat saya sendiri tidak aware dengan kejadian-kejadian yang sebetulnya sangat penting. Begitulah…karena begitu biasanya kita mengabaikan hal-hal yang kecil, apalagi yang sifatnya sebaris pesan teks, catatan di notes, atau lingkaran pada tanggal kalender, tetapi justru itulah berita yang besar.

Sumber: Kompas.com (15/1/2020)

Kalau dulu, ketika kita melihat keadaan suatu tempat, kita bisa lihat langsung tetapi pada masa kini dengan adanya pembatasan kegiatan masyarakat tidak begitu karena terkadang kita menghindari hal-hal yang tidak penting untuk beredar di luar. Sebagai contoh saat ini saya tidak tahu bagaimana kondisi terakhir Stasiun Jatinegara yang sudah mengalami modernisasi. Saya masih ingat sekitar tahun 2018 ketika di Stasiun Jatinegara masih banyak orang yang berjualan di pinggir jalan bahkan sampai menutupi dua pertiga jalan. Selain itu, Stasiun Jatinegara masih menggunakan bangunan stasiun yang lama dengan segala keruwetannya penumpang berpindah jalur, sekarang ini dengan bangunan stasiun yang lebih modern, terasa lebih nyaman dan aman.  

Namun, berhubung saya tidak lagi menggunakan transportasi perjalanan kereta api, dan tidak ada keperluan untuk menggunakan KRL atau harus melalui  stasiun Jatinegara lagi, saya tidak begitu tahu bagaimana situasi terkini. Termasuk juga jalan angkot yang saya lalui ketika saya pulang dari Stasiun Jatinegara ke Cawang – UKI

Demikian juga ketika sekarang tidak ada lagi perjalanan kereta api, saya tidak pernah lagi untuk berkunjung melakukan perjalanan dalam rangka kedinasan ke daerah-daerah lain. Alhasil, saya juga tidak mengetahui situasi apa yang terbaru di sekitaran stasiun atau jalan-jalan kecil, atau tempat jajanan di dekat stasiun, atau apa pun itu, saya tidak begitu tahu lagi.

Demikian juga adalah suatu hal yang aneh ketika kita ujuk-ujuk berbicara dengan teman kita atau hal yang baru kita beritahukan ketika terjadi percakapan-percakapan yang mungkin dapat dilakukan karena kita berkomentar ataupun memberikan tanggapan kepada rekan kita. Rasa-rasanya untuk menanyakan kabar pun sudah risih, sudah canggung. Kita mungkin hanya bisa berkomentar ketika sekarang ini ada yang namanya fitur dalam aplikasi percakapan atau aplikasi pertemanan yang kadang-kadang saya tidak begitu suka fitur itu.

Fitur dalam aplikasi tersebut dinamakan story. Ada Instagram story, ada WhatsApp story, ada facebook story yang dapat disetel secara terbuka atau hanya kalangan tertentu. Kadang saya melihatnya, tapi lebih sering tidak, bahkan ada yang saya matikan. Kadang isi story itu adalah suatu promosi atau kutipan dari salah satu tokoh terkenal. Story itu juga bias berisi flyer elektronik dari suatu produk atau undangan elektronik. Ironisnya, dari lingkar jaringan saya, hanya sedikit yang benar-benar memanfaatkannya sebagai wadah untuk bercerita.

Namun sekali lagi, cerita apa juga yang bisa diberikan dari sebuah gambar atau video singkat apalagi dengan minim tanggal, tahun, atau waktu. Mungkin dia hanya bercerita dengan dirinya sendiri. Si pembuat story tidak berusaha untuk pembacanya mengerti atau rekannya mengerti. Ia membuat cerita untuk membagikan kegembiraan, beban, atau sepakat atas satu kutipan yang merupakan satu bagian kecil dari hidupnya: agar orang lain tahu. Mungkin ini yang dinamakan kebutuhan untuk berbagi cerita (hidup).

Saya bukan anggota fans club fitur tersebut karena saya punya prinsip. apa yang saya bagikan, atau apa yang saya ceritakan, akan saya berikan dengan pertimbangan karena saya berprinsip bahwa cerita saya itu ingin untuk dibaca sampai bertahun-tahun kemudian, bukan hanya dalam kurun waktu dua puluh empat jam lalu sirna dari ruang perjumpaan.

Lagi-lagi saya merasa saya sudah tua. Jadi saya butuh alat bantu. Apa-apa saja yang pernah saya lalui atau apa-apa saja yang pernah saya terima sebagai suatu peristiwa yang tampaknya biasa sebagai pengingat di masa datang perlu didokumentasikan dengan rapi. Karena penting untuk kembali melihat kembali apa yang bagi seseorang ataupun orang lain alami, menjadi perjalanan pulang pada ingatan.

Sekali lagi saya tidak mengaitkan antara umur dengan daya ingat. Itu hanyalah alasan yang tak berdasar bagi saya yang akan memasuki masa penurunan daya ingat akan hal-hal rinci. Suatu korelasi yang lemah antara usia dan daya ingat, tetapi tampaknya orang seperti  saya butuh suatu alat bantu untuk mengingat, salah satunya adalah dengan cerita.

saya rasa orang-orang yang suka membagikan cerita di dalam aplikasi percakapan atau aplikasi foto dengan kameranya, ia sedang menyusun kenangan-kenangan yang dapat ia buka kembali di masa yang akan datang. Ia bisa saja tersenyum, mungkin merasa rindunya terpuaskan atau dia punya kesempatan untuk lebih berhikmat menjadikannya lebih berbijaksana atau merasa bersyukur bahwa hidupnya tidak sia-sia.

Dalam hal itu saya merasa kehilangan mengapa dokumentasi saya dengan ibu saya sangat sedikit.. Saya hanya punya satu foto. Itu saja saya merasa itu sudah sangat bersyukur banget. Saya kehilangan satu surat beliau yang terakhir yang ia tulis. Sudah sempat saya jaga, namun karena saya pindah kos surat tersebut pun hilang dan saya belum sempat mengarsipkannya dalam bentuk digital ataupun menyimpannya secara khusus.

Karena itulah saya berusaha untuk menuliskan kembali atau memberi cerita baru atas kisah-kisah yang pernah saya alami, peristiwa pahit manis yang pernah saya hadapi, termasuk di dalamnya foto-foto atau gambar-gambar yang pernah saya ambil. Saya ingin memberikan pemaknaan kembali kepada peristiwa ataupun gambar-gambar itu menjadi jalan pulang saya.

Pun mungkin saya juga harus mengubah kebiasaan saya di mana kadang kala saya merasa terlalu sayang untuk mencoret-coret buku di mana saya membeli atau mendapatkannya. Sekarang saya baru merasakan betapa menuliskan sesuatu di depan buku atau halaman setelah cover itu merupakan suatu alat pengingat yang baik. Jadi ketika saya membuka kembali di masa-masa yang akan datang, saya menjadi ingat kapan atau di mana saya memperoleh buku tersebut. Dan ini menjadi kebiasaan baru saya untuk memberi catatan kecil pada buku. Agar menjadi pengingat saya (atau generasi saya selanjutnya) di masa yang akan datang.

Tapi begitulah hidup. Ini yang dinamakan belajar dengan berefleksi… Kadang kala itulah yang membuat hidup menjadi kaya. Kaya karena hidup itu tidak berjalan begitu saja seperti biasa, tetapi selalu saja ada hal baru di dalamnya. Ada kebijakan kebijaksanaan baru di dalamnya. Supaya kita hati-hati melangkah. Ini yang dituturkan kembali sebagai jalan pulang pada ingatan: dalam cerita yang baru.

Minggu ini saya disadarkan kembali ketika saya membaca photostory tentang ayah seorang sahabat: sedang duduk di kursi roda menghadap matahari.

Saya menyampaikan salam pada ayahnya.

Saya lupa.

Pesan dukanya sudah saya terima hampir tiga tahun lalu.