Catatan perjalanan  BD JKT

Hari ini saya beruntung. Bangun kesiangan, karena masih train-lag hari sebelumnya pergi subuh pulang malam Jakarta – Bandung – Jakarta. Kepengen makan Bakmie Jawa, kok ya kemarin nggak sesuai ekspektasi. Janjian ketemu teman, nggak bisa karena rapat sampai malam. Akhirnya saya pulang dengan Whoosh. Namun sebelumya, saya siapkan pekerjaan membuat Newsletter yang sudah 31 Minggu saya kerjakan.

Pun hari ini, saya tidak bisa banyak leluasa untuk sekedar membaca atau sedikit santai. Materi rapat untuk siang yang sudah saya siapkan banyak revisi. Persoalannya adalah saya yang presentasi aja merasa baik – baik saja dengan materi sebelumnya. Namun, atasan saya meminta beberapa slide ditambahkan, dengan effort yang “lumayan” dengan waktu terbatas.

Saya juga mengalami seperti kehilangan ide menulis. Inginnya banyak, tenaganya terkuras dengan kesana kemari. Syukurnya saya masih bisa makan dan tidur. Syukur Alhamdulilah. Puji Tuhan. Praise The Lord. Loh kalau kedua hal itu juga jadi masalah saya, betapa menyedihkan sekali. Apalagi yang saya banggakan selain bisa makan dan tidur yang cukup? Syukurnya hal itu terbantu karena saya benar benar menghabiskan tenaga dengan berjalan kaki. Itu membuat kalori terbakar serta tubuh menjadi butuh istirahat. Pikiran sebenernya mengikuti keselarasan tubuh. Mau sebanyak apa pikiran, tapi kalau lapar, apa bisa mikir? Mau serumit apa soal Indonesia ini juga kalau badan udah remuk, apa bisa mikirnya?

Maka saya memutuskan tak berlama-lama pulang. Disamping presentasi saya sudah beres, kantor juga mulai menyepi. Satu persatu pulang. Saya mendengar juga jalan ke Gambir macet, ternyata ada demo di seputaran Monas. Dalam perjalanan saya ke Bandung dengan KA Papandayan, saya menemukan di Majalah Tempo mengulas buku-buku Fiksi maupun puisi yang menjadi pilihan buku sastra. Saya menyadari, kepekaan rasa perlu terus-menerus diberikan asupan vitamin. Sudah terlalu banyak media arus utama maupun medsos memenuhi ruang baca dengan berita politik, berita saling sindir, survey ala-ala, tempat makan dan jalan. Menurut saya itu tak masalah, itu adalah fenomena yang tak bisa ditolak, ia terus hidup menghidupi dirinya selama masih ada yang mencarinya. Orang-orang juga mengunggah tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi, makanan yang menarik untuk dimakan, atau hobi yang perlu diketahui orang banyak.

Saya pun menyadari. Sudah lama saya tak membaca. Seminggu lalu, ketika mengikuti diskusi Klub Buku Depok, saya menjadi pendengar yang baik dalam diskusi yang bertema buku “Misteri Pembunuhan”. Saya  juga tak mengetahui isu apa yang terjadi di dunia literasi saat ini, namun saya bersyukur, perjumpaan Minggu lalu membuat saya memikirkan ulang tentang apa yang namanya keseimbangan. Bukan hanya soal kesehatan fisik: gizi, makan, istirahat. Namun juga kesehatan jiwa dan Budi. Maka pikiran dan ide harus juga diberi asupan yang cukup bergizi.

Supaya apa? Supaya menyadari, untuk apa kita ada. Maka selamat menunaikan ibadah liburan. Bagi yang merayakan.