Dia Hanya Sejauh Doa: Renungan dari Kebaktian Sore yang Teduh

 

Minggu sore itu, langit tidak terlalu cerah, tapi juga tidak mendung. Udara terasa sejuk, agak tenang, seolah mengundang hati untuk diam. Kebaktian sore memang selalu lebih sunyi dari kebaktian pagi. Jemaat yang datang bisa dihitung dengan jari, tak ada hiruk-pikuk anak-anak atau derap kaki tergesa. Yang ada hanyalah keteduhan yang dalam, dan suara-suara yang lebih pelan dari biasanya.

Saya duduk di depan, menunggu giliran untuk mendaraskan Mazmur 138, salah satu bagian dari bacaan hari itu. Sambil memegang lembar liturgi, saya membaca kembali ayat yang akan saya bacakan:

“Pada hari aku berseru, Engkau pun menjawab aku, Engkau menambahkan kekuatan dalam jiwaku.” (Mazmur 138:3)

Ayat itu begitu sederhana—namun sore itu, bergaung kuat dalam hati saya. Karena seperti banyak orang lainnya, saya juga membawa banyak hal ke dalam ruang ibadah itu. Pikiran yang lelah, hati yang cemas, dan doa-doa yang bahkan belum sempat saya ucapkan dengan kata-kata.

Dalam kebaktian ini, kami merenungkan tema yang sangat dekat: “Dia Hanya Sejauh Doa.”
Saya mendengarkan khotbah sambil perlahan menyadari bahwa banyak dari kita sering menyamakan doa dengan “meminta sesuatu dari Tuhan.” Tapi ternyata doa bukan sekadar meminta.

Doa bisa seperti seruan Abraham dalam Kejadian 18—doa syafaat yang sungguh-sungguh untuk orang lain. Doa bisa seperti pujian Daud dalam Mazmur—ucapan syukur yang jujur dari hati yang mengalami pertolongan Tuhan.

Dalam surat Kolose, diingatkan bahwa kita boleh datang kepada Tuhan karena Kristus telah membuka jalan itu. Tidak perlu ritual rumit. Tidak perlu merasa layak dulu. Dan dalam Injil Lukas, Yesus sendiri mengajarkan bahwa doa adalah berbicara kepada Bapa.

Momen paling menyentuh dalam kebaktian sore itu bagi saya bukan ketika saya membacakan Mazmur, tetapi ketika saya duduk kembali dalam diam. Saya tidak mengucapkan apa-apa kepada Tuhan. Tidak ada kata-kata panjang. Tidak ada kalimat doa yang dirangkai.

Namun di dalam hati saya, ada banyak pinta. Banyak seruan. Banyak syukur. Banyak kelelahan.

Dan saya percaya, semuanya terdengar oleh Tuhan. 

Sore itu saya belajar sesuatu:

Tuhan tidak menunggu kita menjadi sempurna untuk mendengarkan. Ia hanya menunggu kita datang.

Dalam doa, saya belajar untuk:

Bersyukur, bukan hanya meminta

Berserah, 

Percaya, 

Diam bersama Tuhan, bukan hanya bicara

Dia tidak jauh. Dia hanya sejauh doa.
Bahkan ketika doa itu hanya bergema di dalam hati yang tak sempat berkata-kata.