Menjelajah Pesta Literasi di Taman Ismail Marzuki


Akhir Agustus lalu, saya kembali mengikuti acara yang selalu saya nanti-nantikan, yaitu pesta literasi di Taman Ismail Marzuki (TIM). Tahun lalu, saya juga hadir dan sempat menikmati musikalisasi puisi karya Ratih Kumalasari, yang kemudian diikuti dengan menonton film *Gadis Kretek*. Ada sesuatu yang memikat dari acara ini, bukan hanya tentang buku, tapi juga suasananya.



Tahun ini, seperti tahun sebelumnya, acara kembali digelar di TIM, dan sensasinya tak jauh berbeda: kelezatan membolak-balik halaman buku di tengah kegelapan malam, merasakan ketenangan di antara kerumunan. Namun, ada satu hal yang selalu membuat saya penasaran—mengapa sebagian besar peserta yang hadir adalah perempuan? Dari tahun ke tahun, saya selalu melihat hal yang sama. Entah apa yang menjadi daya tarik tersendiri bagi perempuan di dunia literasi ini, namun jelas bahwa mereka mendominasi setiap sudut acara.

Seperti biasa, saya tak bisa menahan godaan untuk membeli buku. Kali ini, target saya adalah buku tentang fotografi dan sejarah. Buku-buku ini lumayan membuat tas ransel saya penuh sesak, tapi tak ada penyesalan—justru ada kegembiraan tersendiri dalam membawa “harta karun” itu pulang.

Ada yang baru di acara tahun ini. Tepat di depan patung Ismail Marzuki, saya melihat vending machine photo, sebuah mesin yang bisa mencetak foto langsung. Saya tak tahan untuk mencobanya, meski kali ini saya memilih untuk tidak membeli hasil cetaknya. Sebagai gantinya, saya mengunduh aplikasinya secara gratis, meskipun hasil foto saya masih tersemat watermark.

Dalam perjalanan pulang, saya merenung. Acara literasi semacam ini bukan hanya tentang menemukan buku baru atau memperkaya koleksi. Ini adalah momen di mana kita berinteraksi dengan sesama pencinta literasi, berbagi cerita, dan mengapresiasi seni dalam berbagai bentuk. Dalam setiap helai buku yang saya beli, ada bagian dari diri saya yang belajar, berkembang, dan terhubung dengan masa lalu dan masa kini. Literasi bukan hanya tentang membaca, tapi juga tentang bagaimana kita memahami dunia dan diri kita sendiri di dalamnya.



Dalam refleksi ini, saya tak hanya membawa pulang buku, tetapi juga sebuah kenangan visual: foto diri dari vending machine photo di depan patung Ismail Marzuki. Meskipun hanya sekadar gambar dengan watermark, foto ini menjadi pengingat kecil tentang momen-momen berharga di acara tersebut.



Foto itu bukan hanya sekadar hasil jepretan, tapi menjadi cerminan perjalanan saya sepanjang hari itu—menggali ilmu dari buku-buku, menyerap energi dari suasana literasi, dan menyaksikan antusiasme peserta yang lain. Setiap kali melihatnya, saya diingatkan bahwa literasi dan seni adalah bagian dari perjalanan hidup yang penuh makna. Seperti buku yang selalu memiliki bab baru, foto ini menjadi pengingat bahwa selalu ada momen untuk diingat dan dihargai, meski sederhana.

Terkadang, kenangan kecil seperti foto inilah yang memberi kita alasan untuk terus kembali, mengejar pengalaman yang serupa, dan tentu saja, terus belajar.

Sampai jumpa di pesta literasi berikutnya.
Ditulis di LRT Jabodebek menuju Harjamukti 20 September 2024