Sarapan: suatu permenungan

Nasi goreng dadakan

Bisa sarapan merupakan suatu kemewahan. Kenapa saya mengatakan seperti itu, karena tidak semua orang dapat sarapan seperti orang berkecukupan lainnya. Saya teringat ketika masih bersekolah dulu di Takengon, sarapan saya dan adik-adik adalah nasi putih dengan lauk malam sebelumnya. Atau kalau ibu sedang rajin, ia memasak nasi goreng. Karena biasanya beliau mendahulukan mencuci pakaian setiap pagi.
Saat kuliah, sarapan saya tidak jauh berubah. Yaitu nasi putih dengan tempe goreng atau bahkan dengan telur dadar. Uang sejumlah dua ribu rupiah sudah cukup menghadirkan sarapan itu. jangan bandingkan dengan zaman sekarang, dimana dua ribu perak hanya dapat gehu pedas (di Bandung). Itu dulu. 2001an.

Setelah kerja, sebetulnya banyak cerita tentang sarapan. Saya mengenal sarapan dengan roti bakar yang dibuat dengan alat toaster. Saya juga mengenal sarapan dengan oatmeal. Di samping makanan yang aneh-aneh tersebut, saya juga berkenalan sarapan dengan rebusan-rebusan, seperti singkong, kacang, kentang. Termasuk jga di dalamnya sarapan dengan mie ayam, ketoprak, lontong sayur, soto, dan sebagainya.
Itu yang sarapan. Sering juga tidak sarapan. Alasannya buru-buru. Itu alasan klasik. Tapi betul. Sebetulnya saya tidak mengalokasikan waktu untuk sarapan. Sarapan benar-benar waktu yang tersisa. Sebetulnya saya sangat menikmati proses sarapan, terutama saya suka sarapan di tempat yang cukup ramai. Saya melihat ketika di tempat jual sarapan, berbagai manusia tumpah ruah, dari berbagai profesi, dari karyawan, bankir, akuntan, tukang ojek sekalipun, rasanya menjadi sangat manusia ketika makan.

Pun ketika akan menghadapi situasi berat sekalipun, mungkin terlalu rohani jika nasihat yang diberikan adalah jangan lupa berdoa. Tetapi nasihat yang jangan dilupakan adalah: jangan lupa sarapan, meski hidup terasa berat.

Kembali ke gambar di atas, itu gambar sarapan saya ketika liburan Nyepi yang lalu. Nasi dalam piring itu punya cerita. Ceritanya nasi itu nyaris basi, sebab baru saya temukan pagi-pagi (Rabu) padahal sudah dibungkus sejak Minggu malam. Apa yang saya lakukan sebetulnya bisa saja dengan membuang nasi tersebut. Namun sayang. Teringat pak Petani yang sudah lama menanam, memanen, serta menjualnya. Trus saya buang-buang karena keteledoran saya. Duh nggak tega euy. Makanya jika ada yang makan bareng saya, trus ada kecenderungan akan menyisakan makanannya, akan saya omeli. Hahahaha.

Akhirnya nasi tersebut saya goreng bersama bumbu kuah rendang (yang ikut dibungkus), saya goreng sampai lama, saya yakin wanginya kemana-mana. Saya rasa teman kosan saya akan menghirup dan ikut lapar. Untungnya masih ada telur ayam dua biji, ikut saya goreng sebagai penambah lauk. Untuk sepiring itu saja, saya aduk-aduk dalam penggorengan kurang lebih dua puluh menit. Sampai benar-benar yakin uapbasinya hilang dan bumbu rendangnya meresap (huhu gaya banget). Hasilnya seperti di atas. Tampilan biasa saja, tapi rasanya luar biasa.

Dan kopi.

Sebagai penutup sarapan dan memulai hari. Seperti sarapan, Segelas kopi hangat, juga merupakan kemewahan tersendiri bagi saya. Dan apapun itu harus saya syukuri, karena tubuh saya masih mampu menikmati makanan dan kopi itu. Puji Syukur.
Pagi ini saya terbangun karena ditelpon abang saya. Ia bersyukur karena dapat bangun pagi, karena malamnya kondisi tubuhnya sangat lemas akibat hipoglikemi. Ia belum bisa sarapan nasi keras karena kondisi lambungnya masih belum pulih.

Dan siang ini saya mendengar ia (kembali) diopname di rumah sakit.

Bandung, 11 April 2017