Hello Agustus

Halo.
Tibalah di penghujung Agustus. Tidak terasa (atau sangat terasa), mulai besok akan memasuki Bulan yang berakhiran -ber. Dan itu berarti masa-masa Natal akan mendekat.
Dalam proses permenungan saya selama sebulan ini, terus menerus pergumulan terjadi dalam pikiran saya: bagaimana saya harus bersikap, bagaimana saya harus terus bertindak dan memberi peran, di tengah-tengah kehidupan yang saya jalani? Mungkin dalam sependek akal saya, Hal inilah yang disebut perziarahan rohani, seperti yang dibahas oleh Romo Setyo.
Saya teringat buku Romo Sindhunata: Anak-anak Ignatius, pada bab pembahasan tentang Romo A. Setyo Wibowo yang membahas tentang gaya filsafat Nietzsche. Saya kutip isinya:

Tidak mengherankan bahwa proses (ziarah) semacam ini tidak bisa tidak hanya akan memunculkan pemikiran yang personal. Berfilsafat adalah memasukkan diri dalam alur ziarah transformasi personal. Apa saja yang mengenai diri kita, dengan seluruh diri kita, ditransformasikan sedemikian rupa sehingga kita sema- kin menjadi diri kita sendiri: itulah definisi filsafat personal à la Nietzsche.” (hlm. 102).

Berfilsafat demikian tentu saja sangatlah melelahkan. Kita ditantang terus mencari dan memperbarui diri tanpa kenal istirahat. Sungguh rigoritas yang ketat, tidak hanya menyangkut diri kita, tetapi juga menyangkut cara pandang kita terhadap kehidupan. Mau apa? Itulah risiko jika kita mau bergulat dalam peziarahan filosofis bersama Nietzsche.

Meski, agak sulit mencerna kalimat tersebut, inti dasarnya adalah bahwa mempertanyakan terus menerus makna hidup yang dijalani adalah pergulatan batin manusia selama ia hidup.

Baru-baru ini, masih baru saja saya sembuh dari batuk yang parah. Mungkin akibat polusi Jakarta yang semakin mengkuatirkan. Saya hampir tidak bisa tidur sepanjang malam saat perjalanan pulang-pergi Jakarta – Yogyakarta, karena batuk terus menerus. Obat batuk sudah saya minum lebih dari 10 sachet, untuk meredakan tenggorokan saya. Namun itu hanya sebentar. Selebihnya diafragma perut saya tegang karena harus berkontraksi membatukkan sesuatu yang entah apa dari dalam.
Saya hanya membayangkan, saya sudah lama tidak terkena batuk. Namun kali ini, batuk itu sungguh membuat saya lelah. Saya bayangkan, bagaimana jika saya sudah tua, untuk batuk saja, otot otot tubuh saya tidak akan mampu lagi?
Itu baru soal batuk. Bagaimana dengan sakit yang lain?

Dalam Agustus ini juga, saya mengingat betapa banyak peristiwa besar yang terjadi dalam hidup saya. Beberapa hal sempat saya tuliskan dalam bentuk tulisan kecil, tetapi masih banyak yang belum. Diantaranya perjalanan saya pertama kali ke ibukota Jakarta ini terjadi pada Bulan Agustus, 22 tahun yang lalu.
Beberapa kenangan itu saya simpan dalam bentuk foto, ingatan, dan bahkan tubuh saya. Mungkin saya butuh godaan, untuk menuliskannya satu persatu. Oh untuk itu, saya jadi teringat pada sebuah artikel, apa yang seharusnya dilakukan oleh orang berusia 20 tahun? Yaitu memanggil seorang penulis, untuk menuliskan seluruh cerita anggota keluarga. Karena itu adalah warisan berharga.

Sekarang dengan usia dua kali lipat itu, apa yang dapat (alih-alih harus) saya lakukan?
Terlalu klise menyatakan menikmati hidup. Tetapi tampaknya itu benar. Saya kembali teringat pada sesi Romo Sindhunata pada sekolah Basis Minggu lalu, bagaimana menemukan Tuhan dalam dunia sepakbola? Beliau adalah pastor sekaligus wartawan kolumnis sepakbola di Kompas. Saya tertarik dengan cara berteologi beliau. Dalam bukunya yang lain: Mata Air Bulan, Romo Sindhunata menyatakan, bagaimana menemukan Tuhan dalam hal-hal kecil, dalam konteks ia menceritakan jemaat Gereja Maria Assumpta, di desa Pakem, lereng Gunung Merapi. Gereja yang kecil, umatnya sangat sederhana, namun memiliki kekayaan spritual yang berlimpah.

Saya melihat kembali perjalanan saya, ada banyak keajaiban sebetulnya. Saya menyadari, bahwa hal yang mendorong suatu perjalanan baru, adalah keinginan terdalam untuk bertemu dengan manusia baru yang lain yang sama sama menghuni dunia ini. Saya belum terlalu rohani menyatakan bertemu Tuhan melalui orang-orang yang saya jumpai. Namun kenyataannya seperti itu. Kebaikan-kebaikan kecil yang saya terima, dijemput dari stasiun, disediakan kamar untuk rebahan, dipinjamkan kendaraan, mandi dan sebagainya, merupakan keajaiban yang sepatutnya saya simpan sebagai wajah Tuhan dalam sesama.
Tentunya dalam penghayatan itu, di ujung Agustus ini saya juga bersyukur masih diberikan umur, saya juga turut merayakan ulang tahun sahabat terbaik saya, yang menemani saya selama lebih dua puluh tahun.

Pakailah waktu anugerahmu
Hidup ini singkat bagaikan kembang
Mana benda yang kekal dalam hidupmu?
Hanyalah kasih, tak akan lekang.

Jak,31082023

Helv.