Penghujung Juni

Penghujung Juni. sudah setangah tahun 2020, rasanya sudah lama sekali, atau sebentar sekali? Tampaknya pandemi ini berhasil membuat waktu begitu cepat bagi saya. Rasanya baru kemarin survey tempat lokasi konsinyering hingga saya ditilang Polisi Bandung, dan sekarang sudah menuju Juli. Saya teringat pada bulan Juni seperti sekarang, saya memasuki babak baru dalam kehidupan karir saya. Akhirnya setelah hari-hari yang cukup melelahkan dari sejak akhir 2012 hingga akhir semester I 2013, saya memutuskan meninggalkan institusi lembaga pemeriksa keuangan paling tinggi di negeri ini. Saya teringat di suatu malam ketika membahas soal ini dengan ayah saya di meja makan, ia tampaknya tidak menyatakan setuju atau tidak setuju. Namun, belakangan saya tahu (setelah sekian tahun kemudian), bahwa perihal saya tidak lagi sebagai auditor cerdas, enerjik, dan andalan menjadi trending topic pergunjingan di sebuah kota kecil di ujung Sumatera sana.

Boleh dibilang saat itu adalah masa-masa di mana tekanan yang saya rasakan cukup kuat. Mungkin bagi sebagian orang, hal itu biasa-biasa saja. Tetapi pengalaman hidup mengajarkan saya, bahwa apa yang saya impikan dan inginkan, tidak tercapai, karena situasi yang berubah. Kalau dengan istilah di era pandemi sekarang-yang diadopsi dari software development- jargon agile sudah saya kenal dari pengalaman hidup yang kadang membuat terbangun tiba-tiba dari tidur dengan jantung berdebar kencang. Saya masih mengingat, di masa-masa transisi saya saat itu, waktu rasanya singkat sekali. Pergi ke kantor pukul lima pagi, dan pulang ke rumah sudah menjelang pergantian hari. Bahkan di tengah-tengah itu saya masih mengerjakan tesis dan saya ingat betul suasana bagaimana menunggu tanda tangan Sang Dosen di Universitas ternama di bilangan Blok M, Jakarta Selatan, dan tak satu coretan/reviupun saya peroleh. Sungguh saya kapok kuliah sambil bekerja, apalagi dengan sistem: dapatkan tanda tangan dosen dan kejar dimanapun ia. Dalam konteks di Jakarta yang padat merayap tanpa harapan serta janjian dengan Dosen seperti tulisan di belakang bis Metromini: “Kutunggu walau tak pasti” Sungguh sistem yang sangat tolol seolah mengukuhkan bahwa akhirnya yang terpenting adalah substansi menunggu.

Saat ini sudah tujuh tahun di kota kembang ini. Begitu bersyukurnya saya terlepas dari rutinitas yang melelahkan seperti itu, meski saya harus membayarnya dengan kamar sewaan tidak sampai lima meter persegi saat ini. Banyak peristiwa sudah dialami… banyak…. Banyak! Saya berkesempatan mengunjungi stasiun-stasiun, menapaki jalan rel dan menyeberangi jembatan. Jembatan tertinggi yang pernah saya lintasi (dengan berjalan kaki) adalah jembatan Nagrek wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pernah menginap di mess di stasiun Padang Panjang yang sejuk atau di stasiun yang panas lagi berisik di Pekalongan. Bahkan pernah sampai ke Curup, sebuah kota di Provinsi Bengkulu, sudah saya datangi, namun segera pulang karena menghindari malam di perjalanan-isu begal- Apakah kota ini juga bersahabat dengan saya?, entahlah… Saya memaknainya seperti sekolah kehidupan tanpa ijazah kelulusan, yang kadang kejam, bengis, tidak peduli, namun dalam celah waktu dapat tertawa, tersenyum atau menghela nafas dalam peristiwa tidak terduga.

Akhirnya saya memeringati ini dengan memberikan gambar ini buat ibu saya. Ia mendidik keras dalam persekolahan. Saya akui: sangat keras. Saya menduga karena pengalaman hidupnya memutar haluan hidupnya karena keadaan. Ia belum pernah ke Bandung, tentunya ia pasti senang jika saya ajak ia kesini. Ia yang menugaskan saya untuk setiap hari pagi dan sore untuk menyiram tanaman bunganya. Apalah anak-anak, terkadang saya alpa plus omelan. Meski saya tidak pernah sekalipun membawanya ke taman, saya tahu ia suka.

Setelah waktu berlalu, saya menyadari satu hal yang tidak diajarkannya: bunga itu hidupnya singkat.