Selamat! Keselamatan. Selamat atas apa? pertanyaan yang tak sebetulnya tidak membutuhkan jawaban, karena jika ia diletakkan pada konteks apapun, jawaban yang paling tepat adalah: terima kasih. Selamat buat sudah menempuh setengah perjalanan tahun kabisat ini dan sekarang memasuki paruh kedua. Selamat saya ucapkan juga pada institusi Kepolisian Republik Indonesia, yang akhir-akhir ini menjadi sorotan para warga net. Salah satunya adalah soal unggahan status Ismail Ahmad di akun media sosialnya tentang humor yang populer di zaman GusDur tentang polisi yang jujur. Hal tersebut mengakibatkan Ismail dipanggil oleh anggota Polres Kepulauan Sula Maluku Utara dimana provinsi tersebut batal saya datangi tujuh tahun silam Topik ini menjadi bahasan bahwa era demokrasi digital di era pandemi membuat rakyat dan aparat negara bla…bla…bla…menjadi cerminan dan seterusnya dan seterusnya, dan menjadi laku di seminar-seminar digital maupun esai atau perbincangan di ruang percakapan virtual. Saya tertarik melihat dari sudut pandang bahwa memang telah terjadi krisis kelucuan di antara kita. Bahkan untuk mereplika humor GusDur pun, menjadi ancaman serius. Saya berpikir ada apa di balik situasi ini.
Saya mencoba melihat dari dalam kehidupan Polisi. Sedari kecil saya hidup bersama orang tua di asrama yang semuanya adalah polisi. Saya tahu ritme kerjanya, yaitu apel pagi pukul tujuh pagi, pulang pukul dua atau pukul tiga sore, dan belum termasuk jadwal piket malam. Saya dan adik saya bergantian menyiapkan perlengkapan piket malam ayah saya seperti sarung, selimut, bantal kecil ke dalam sebuah tas sedang. Belum lagi jika ada hari-hari besar seperti perayaan tujuh belasan, hari raya idul fitri, serta kunjungan dari para pejabat ibukota provinsi dan segala macamnya, akan berakibat tersitanya waktu istirahat di rumah. Saat itu, saya tidak mengerti apa pergumulan profesi sebagai polisi. Dalam kesempatan makan di meja, sesekali ayah saya bercerita tentang bosnya, tentang rekan kerjanya. Disamping tugas rutin apel maupun piket malam, saya juga melihat ayah saya terkadang membuat konsep pidato komandan tertingginya di kota kami itu. Ayah saya membawa mesin tik ke rumah, dan kadang mengetik hingga dini hari. Terkadang juga membuat transparan dari huruf-huruf Rugos yang sangat melegenda itu. “Untuk bahan presentasi komandan ke Banda Aceh” begitu jawab ayah saya ketika ditanya. Apakah menjadi Polisi merupakan cita-cita ayah saya secara murni dan konsekuen? dalam pengakuannya, jawabannya tidak. Lagi-lagi soal pilihan hidup yang entah kebetulan berpihak. Seorang saudara mendaftarkan ayah saya ke penerimaan polisi, padahal ayah saya bercita-cita menjadi guru, karena terinpirasi pada gurunya pada masa SMP. Singkat cerita, ia bersekolah Polisi di tempat kelahiran Marah Roesli dan ditempatkan di negeri serambi Mekah di masa pecahnya DI/TII.
Itu baru soal-soal pekerjaan-pekerjaan rutin, jika ada keadaan luar biasa, seperti penyelenggaraan pemilu atau saat gentingnya keadaan serambi mekah pada masa reformasi bergulir, siang dan malam sering tidak pulang. meskipun begitu, banyak rekan-rekan sepermainan saya di asrama itu yang memilih menjadi Polisi. Saya tidak. Tampaknya saya tidak berbakat dan minat di jalur profesi itu. Bicara soal humor. Nah ini, saya rasa perlu ada penelitian komprehensif mengenai hal ini. Mengapa topik demokrasi dan HAM menarik bagi para peneliti bidang humaniora bila dibenturkan dengan aparat. Sementara di lingkungan aparat seperti Polisi ada komando, ada tekanan, ada pergumulan, ada macam-macam faktor. Sampai hal-hal kecil: humor receh pun mungkin sudah terkikis. Belum lagi ada persoalan domestik, keluarga, anak, “persaingan” antartetangga, ribut soal got yang berbagi, air PDAM yang tidak menyala, musik yang terlalu hingar, cat rumah yang memudar, jenis beras yang dikonsumsi, mainan anak, dan seribuan problem yang menjadi gesekan antar rumah pada asrama yang hanya satu dinding. Ini realita pada saat itu. Betul katanya olahraga bisa membuat badan sehat dan jiwa kuat, namun dengan “tekanan” seperti itu, kapan ada waktu untuk beristirahat jiwa dan raga? tipis sekali.
Pengalaman saya dengan polisipun tidak mengenakkan. Terhitung empatkali saya ditilang di Bandung. Persoalannya kendaraan saya plat B. Saya merasa tidak fair ketika kendaraan lain dengan plat D lewat-lewat saja, sementara plat H, AB, dsb disetop. Saya pernah protes di jalan terkait hal itu, tapi saya bukan siapa siapa. Semuanya berakhir di kantor kejaksaan atau kepolisian untuk mengambil SIM saya yang menjadi jaminan tilang. Saya rasa saya tak perlu berdamai, sebab saya bayar pajak, kok. Kasus tilang terakhir menyesakkan karena di tengah pandemi saya harus menebus SIM hampir setengah juta rupiah. Kenapa saya ditilang? satu, pemicunya karena plat B. Kedua, karena saya terlambat bayar pajak kendaraan. Dan persoalannya bayar pajak kendaraan DKI benar-benar tidak elektronik alias harus antri di samsat. Sungguh teori hukum pajak pada buku bacaan wajib mahasiswa pajak di sekolah perbatasan banten – jakarta rachmat soemitro, belasan tahun silam tampaknya hanya ideal di konsep.
Saya sependapat bahwa Jenderal Hoegeng, memang seharusnya menjadi teladan bagi para Polisi, yang sayangnya jarang disimbolkan oleh Polisi dalam publikasi mereka. Namun satu tokoh lagi yang jarang diupublikasikan yaitu Kaharudin Datuk Rangkayo Basa, Kepala Kepolisian Sumatera Tengah yang menjadi gubernur pertama Sumatra Barat tahun 1958-1965. Kiprahnya membuka kembali Universitas Andalas setelah pergolakan PRRI di Sumatra Barat dan turut memelopori sekolah polisi Bukittinggi dimana lulusannya masuk ke Barisan Istimewa Polisi yang menjadi cikal bakal terbentuknya kesatuan Brigade Mobil.
Terakhir, saya punya sedikit kenangan tentang Bhayangkari, yaitu organisasi khas orde baru seperti Dharma Wanita. Saya belum menelusuri kenapa warna seragamnya pink, tampak tidak padu padan dengan seragam coklat Pak Polisi, entahlah. Dalam event resmi, ibu saya mengikuti acara organisasi dengan seragam khasnya.
Semoga ia tertawa,
ia tahu selamat lebih utama.
meski anaknya diputuskerja
kemarin.