Puasa

Jika Anda memutuskan untuk bertemu seseorang atau ingin sendiri di suatu cafe, pertimbangan apa yang Anda lakukan? Pertimbangan pertama adalah; Anda mau ngapain? Mau bengong, lihat orang-orang, ngobrol serius, ngobrol santai, atau mau kerja?

Kriteria saya adalah, makanan dan minuman nomor dua. Kriteria pertama, tempat itu cukup nyaman. Dalam artian, hawanya cukup sejuk baik berpendingin atau tidak, lalu tidak cukup berisik.

Karena itu, cafe di Bandung, menjadi rujukan jika saya membandingkan dengan cafe lain. Cafe di Bandung itu kreatif, nyaman, dan khas.

Saya cuma kehujanan, pesan avocado coffee, buka bacaan, lalu sambil menikmati minuman serta musik yang mengalun lembut, di depan saya tersaji kolam ikan mas koi yang sangat menyejukkan perasaan dan hati. Rasanya puasa langsung batal. Ya iyalah. Minum!

Di sebelah saya terdengar percakapan yang kencang, maklum mamak mamak orang Batak. Di meja lain, terdengar lamat-lamat pembicaraan lirih dan berbisik, tampaknya dua sahabat sedang curhat. Di depan saya, seorang perempuan muda sedang mengetik di depan laptopnya. Dan di ujung meja, sekelompok pemuda berteriak seru sambil bermain kartu. Sungguh keberagaman di ruang publik.

Saya bukan lagi generasi milenial digital, tetapi menjadi pelaku budaya zaman yang memilih memberi waktu pada kesadaran untuk terus mencari makna, spiritualitas, serta nilai dalam kehidupan yang tampaknya dihitung dalam kuantitas viral.

Dalam pengelolaan media sosial saya, beberapa kali saya meragu untuk sekedar posting story atau reels, saya merasa terlalu ‘lebay’ untuk menarasikan apa yang saya pikirkan. Jelas, kalau untuk flexing kehidupan saya yang glamor, tentunya tidak ada. Hahahaha. Atau saya tak cukup cakap menulis/mereproduksi dalam bentuk video pendek atau judul/caption.

Akhirnya saya berkesimpulan, saya juga termasuk generasi konsumerisme, yang juga dengan justifikasi menikmati hidup dengan datang ke cafe: menimbun kalori dan membayar mahal untuk itu. Mengapa tak ada kegelisahan membudayakan pola hidup efisien, menahan diri, apalagi dalam momen masa prapaskah yang berpuasa dan berpantang?

Tetapi saya bersyukur menyadari hal ini. Bulan puasa dan prapaskah adalah momen tepat untuk berintrospeksi diri: kebajikan apa yang dapat saya berikan kepada sesama dan lingkungan? Apakah rasa empati, kesadaran nurani, kepedulian, solidaritas, kesetiakawanan pada sesama semakin bertumbuh?

Saya cukupkan permenungan itu tak berjawab. Supaya ada alasan, untuk mendatangi tempat ini lagi. Dalam waktu yang berbeda atau bersama.

BD, Maret 2024